Apa itu Big Data? Big data adalah istilah khusus yang digunakan untuk data yang melebihi kapasitas pemrosesan database konvensional karena berjumlah terlalu besar, bergerak terlalu cepat, dan tidak sesuai dengan kemampuan struktural dari arsitektur database tradisional. Sehingga dilakukan suatu proses dengan sistem terintegrasi yang mampu menangani Big data yang disebut big data analytics.
Penggunaan digital dalam proses pemerintahan sudah terjadi di seluruh dunia. Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi elektronik, digitalisasi yang awalnya hanya memudahkan penyimpanan data berkembang menjadi sesuatu untuk mengakses data secara lebih luas dan cepat bahkan memberikan panduan arah keputusan.
Pemerintahan di banyak negara mulai merancang berbagai program pengelolaan digital yang lebih kompleks, seperti ”Kota Cerdas” (Smart-city) dan ”Open Government Partnership” (eGov). Indonesia termasuk yang aktif di dalamnya. Program-program digital di pemerintahan diklaim lebih transparan dan terbuka, serta memudahkan penyampaian aspirasi masyarakat.
Potensi ”big data”
Sebelum penggunaan AI seluas sekarang, penggunaan digital di masyarakat menimbulkan pandangan dan harapan akan terjadinya peningkatan akuntabilitas pemerintah. Partisipasi digital dianggap sebagai bentuk demokrasi masa kini.
Namun, penggunaan digital yang luas tak otomatis menjadikan suatu pemerintahan lebih akuntabel dan mendorong pembangunan inklusif. Kesempatan memberikan keluhan itu tidak sama dengan sistem akuntabel. Akuntabilitas digital hanya terjadi jika isi informasi mencerminkan berbagai persoalan dasar yang ada di masyarakat dan sekaligus datanya dapat diakses oleh publik.
Itulah sebabnya, dalam membangun demokrasi berdasarkan digital, atau bahkan sekadar partisipasi dalam open government, kategori informasi mencerminkan jenis masalah apa yang bisa diselesaikan.
Apalagi jika menyangkut big data, di mana hanya yang mempunyai kekuasaan/kewenangan dan kemampuan yang bisa memanfaatkannya, bentuk akuntabilitas baru harus ditegakkan. Untuk menjadikannya sebagai alat pendorong akuntabilitas, ada beberapa prasyarat.
Pertama, digitalisasi yang menggerakkan masyarakat. Masyarakat memahami cakupan data dan tujuan dari pengumpulan data itu.
Kedua, adanya jaminan sistem yang aman, apalagi jika digunakan pengambilan keputusan berdasarkan algoritma. Disini pentingnya keterlibatan anggota masyarakat yang kompeten dan berintegritas dalam pengembangan sistem.
Ketiga, bagaimana data diolah sebagai bagian dari pengambilan keputusan. Di sini kita meletakkan data digital dalam kerangka kemampuan politik untuk melakukan perubahan berdasarkan data.
Penggunaan progresif
Jadi, terkait big data ini, harus dilihat secara serius bagaimana data digunakan. Selama ini pembahasan tentang penggunaan big data masih didominasi untuk keperluan bisnis dan peluangnya.
Pembahasan penggunaan big data untuk keperluan publik, yang dikelola negara, juga masih berkisar pada kemudahan pemetaan pelayanan publik, bahkan lebih sering pengumpulan data persoalan yang terjadi di lapangan (incidence of deprivation).
Big data sebenarnya instrumen kuat untuk tujuan yang jauh lebih mendasar.
Instrumen big data harus dicegah menjadi instrumen yang menyempitkan makna persoalan-persoalan masyarakat dan menciptakan eksklusivisme baru. Contoh, menggunakan digital dalam ”kota cerdas” (smaty-city) hanya untuk menghasilkan efisiensi tanpa mengenali persoalan mendasar yang ada, seperti ketimpangan, korupsi, birokrasi yang abai, kekerasan kultural antarkelompok, dan ketidakadilan pada kelompok marginal. Penggunaan big data yang progresif yang dimaksud di sini misalnya big data untuk mengukur berbagai risiko yang dianggap paling besar dampak nya. Kita bisa menyebutnya Big Data Risiko Negeri (BDRN).
Indonesia mempunyai beberapa risiko besar, seperti kerusakan lingkungan, lemahnya fasilitas kesehatan (untuk mengatasi tengkes/stunting, pandemi, TBC, dan sebagainya), atau yang berpotensi menjadi besar, seperti pengangguran/setengah pengangguran, menurunnya kualitas pelayanan publik, dan korupsi birokrasi. Dengan dibuatnya indikator-indikator yang tepat, gambaran besar di Nusantara tentang persoalan yang sedang terjadi bisa dilihat. Ada beberapa catatan terkait pembuatan big data progresif semacam ini.
Pertama, data yang digunakan sebagian menggunakan data yang sudah ada di berbagai lembaga negara dan non-negara. Saat ini berbagai lembaga negara telah mengumpulkan banyak sekali jenis data di luar data Dukcapil dan data kesehatan, seperti data di pelayanan publik. Data dari berbagai aplikasi pengaduan di hampir semua pemerintah daerah dan organisasi pelaksana juga bisa berharga. Selain yang berasal dari pemerintah, beberapa organisasi nonpemerintah yang kredibel juga memiliki data dengan jumlah besar unit.
Kedua, BDRN sekaligus bisa digunakan untuk tujuan meningkatkan partisipasi masyarakat sekaligus merasionalkan pandangannya tentang persoalan bangsa ini. Salah satu caranya adalah memperluas kemungkinan masuknya data dari masyarakat. Tentu caranya bisa dipikirkan untuk mencegah terjadinya banjir informasi (delugeof information).
Kemungkinan merasionalisasi masyarakat adalah dengan dimungkinkannya masyarakat melihat data yang ada di BDRN. Jika masyarakat bisa melihat dengan mudah peta permasalahan di seluruh Nusantara, maka wawasan tidak hanya terpaku pada situasi diri dan kelompoknya.
Saat ini kita semua hanya bisa mendapatkan gambaran yang terpecah-pecah tentang suatu jenis persoalan tertentu di Nusantara ini. Apalagi, media sosial memang menimbulkan godaan terbentuknya ”individualisasi tindakan kolektif”, artinya konstruksi pemikiran bersama tanpa refleksi masalah kolektif.
Ketiga, persoalan interpretasi data. Penggunaan big data adalah sesuatu yang serius membutuhkan instrumen-instrumen sampingan. Salah satu yang sangat penting adalah narasi dari data.
Tujuan dari BDRN bukan hanya mengangkat berbagai persoalan dan risiko besar yang dihadapi negara, melainkan juga merupakan proses konsolidasi politik rasional di pihak warga negara, dan politik yang akuntabel di pihak pengambil kebijakan.
BDRN adalah proses melihat permasalahan bersama, bukan perdebatan posisional. Selama ini wilayah publik dibuat butek (opaque), sebagian disengaja untuk melindungi kepentingan epentingan tertentu. Masyarakat terbelah pada pelontaran penilaian (judgement) dan abai pada inti masalah sebenarnya, misalnya persoalan integritas lembaga dan organisasi publik. Disadari atau tidak, ini mengorbankan masa depan suatu negeri.
Untuk menjaga ”narasi” data, suatu bentuk penilaian harus merupakan bagian dari BDRN. Mungkin bentuknya microsite dengan bahasan ilmiah populer. Terpenting adalah para penulis jelas kredibilitasnya dan harus dibatasi hanya berasal dari kalangan akademisi. Contoh analisis ilmiah populer bisa dilihat di platform The Conversation.
Hanya pada BDRN semua analisis dikaitkan dengan bacaan data. Dengan cara seperti itu, bukan berarti akan terjadi dominasi pemikiran karena ini adalah suatu model wilayah publik terbuka. Di tengah dunia digital yang terus-menerus mengonstruksi realitas begitu cepat, kita membutuhkan suatu dunia dengan patokan yang lebih jelas.
Referensi : Meuthia Ganie-Rochman (Sosiolog Organisasi)