Dalam satu bulan terakhir, dunia akademik Indonesia digemparkan oleh dua rumor yang tengah berkembang, terkait publikasi ilmiah. Pertama, Universitas Zurich, salah satu universitas peringkat atas (top rank) dunia, tempat seorang Albert Einstein menimba ilmu, memutuskan untuk tidak akan lagi berpartisipasi dalam pemeringkatan universitas dunia yang selama ini dilakukan oleh Times Higher Education (THE). Kedua, adanya seorang profesor Indonesia yang tiba-tiba menjadi bahan perbincangan yang sangat hangat di kalangan akademik di Malaysia. Pasalnya, profesor itu dianggap telah banyak mencatut nama-nama dosen di universitas di Malaysia dalam publikasinya di berbagai jurnal, tanpa sepengetahuan dosen-dosen tersebut. Parahnya lagi, setelah ditelusuri lebih lanjut, profesor itu juga ”diduga” melakukan plagiarisme terhadap banyak artikel yang dituliskan olehnya.
Dua ”rumor” di atas bagaikan dua isu yang berada di dua kutub yang berbeda. Kutub yang pertama, keluarnya Universitas Zurich dari pemeringkatan universitas dunia adalah dalam rangka keluar dari jebakan ”berhala” kuantifikasi publikasi ilmiah yang sering kali justru mengabaikan ”kualitas” isi dan konten.
Dalam hal ini, Universitas Zurich seakan ingin mengingatkan kepada dunia, betapa jebakan istilah top rank dan world class telah mengakibatkan para sivitas akademika hanya dijadikan sebagai ”publish machine” yang secara kuantitas didorong untuk terus-menerus menghasilkan tulisan meski terkadang harus mengabaikan kualitas dan isi tulisan.
Di kutub yang lain, di Indonesia, pemujaan terhadap ”berhala Scopus” atau ”berhala jurnal internasional” yang berlebihan justru telah menumpulkan akal sehat intelektual sivitas akademika dan menjadikannya ”banal”.
Segala instrumen peraturan yang menuntut publikasi internasional, yang kini mulai ditolak oleh berbagai universitas di Eropa, justru telah membuat banyak sivitas akademika negeri ini menjadi lacur, menempuh jalan paling culas untuk bisa menerbitkan artikel di jurnal yang dianggap paling berkualitas, yaitu dengan melakukan plagiat hingga manipulasi. Kisah tentang profesor Indonesia yang diduga banyak mencatut nama sivitas akademika di Malaysia tanpa izin hanyalah secuil dari sebongkah permasalahan akademik kita hari-hari ini.
Laporan investigasi The Conversation (28/3/2024), mengutip Retraction Watch, mengungkapkan,terjadi peningkatan jumlah artikel penulis Indonesia yangdiretraksi (dicabut) akibat pelanggaran etik kepenulisan, dari 13 artikel pada 2020-2021 menjadi 27 artikel pada 2023-2024.
Di sisi lain, dalam konteks indeksasi Scopus, temuan Macháek dan Srholec (2022), sebagaimana yang juga dikutip dalam The Conversation, menunjukkan, sepanjang 2015-2017, dari 164.000 arti-el yang diterbitkan di jurnal predator, 16,73 persen di antaranya diterbitkan oleh para ilmuwan Indonesia.
Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara terbanyak yang memublikasikan artikel ilmiah di jurnal predator, menyusul Kazakhstan (17 persen) di peringkat pertama. Dengan kata lain, satu dari enam artikel jurnal yang diterbitkan oleh para sarjana Indonesia terindikasi diterbitkan di jurnal predator. Mengapa hal ini terjadi?
Fantasi dan kegamangan
Tentu, ini terjadi lantaran adanya ”kegamangan” para pemangku kebijakan terhadap semangat world class university and research institution tanpa dibarengi pemaknaan secara ontologis dan epistemologis yang menyeluruh. Akibatnya, isu ”world class” baru dimaknai oleh tuntutan publikasi internasional yang meninggi, tanpa dibarengi visi meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan bagi ”anak bangsa” itu sendiri. Indikator ”publikasi internasional” sebagai prasyarat kenaikan jenjang dosen dan peneliti tanpa menghiraukan kualitas dan substansitelah mengakibatkan mereka kehilangan jati dirinya. Fantasi ”world class” yang berlebih telah mengakibatkan universitas dan institusi penelitian kita hari ini tercerabut dari fungsi dasar dan filosofi dasarnya.
Insan akademika yang semestinya berperan dalam menjawab tantangantantangan ”kepublikan” justru kiniterjebak mengejar kepentingan kepentingan privat. Dosen dan peneliti hari ini terjerembab dalam tuntutan-tuntutan teknokratis yang menjauhkannya dari kewajiban untuk membangun kesadaran kritis dan ”idea of progress”. Sains semakinjauh dari realitas dankita terjebak dalam ”productive disorientation”.
Meninjau kembali
Tentunya impian mewujudkan universitas dan lembaga riset kelas dunia bukanlah hal yang salah, terlebih jika diikuti oleh landasan tujuan yang jelas. Sayangnya, hingga hari ini, semangat menuju world class justru dibarengi oleh pemangkasan dana penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan yang signifikan.
Sepanjang 2016-2020, persentase dana penelitian daritotal produk domestik bruto (PDB) hanya 0,25 persen. Ini berbanding terbalik dengan negara maju. Malaysia 1,14 persen, Singapura 1,91 persen, China 2,20 persen, AS 3,5 persen, dan Jepang 3,19 persen. Rata-rata negara Skandinavia 2,75 persen, negara-negara Eropa Barat 2,68 persen. Bahkan, Israel lebih dari 5 persen.
Dengan kata lain, gambaran di atas menunjukkan, semangat mewujudkan visi ”world class” tidak dibarengi dengan semangat membangun infrastruktur dan ekosistem akademik yang mumpuni. Di sisi lain, isu ”world class” dan ”publikasi internasional” juga telah menjauhkan insan akademika kita dari audiens utama mereka, yaitu masyarakat Indonesia.
Gema ”world class” dan peningkatan jumlah publikasi internasional di Indonesia tidak berbanding positif dengan peningkatan daya literasi dan kemampuan berbahasa Inggris masyarakat. Minimnya anggaran negara dan universitas terhadap pembelian publikasi internasional telah mengakibatkan terbatasnya akses publik terhadap jurnal-jurnal ilmiah tersebut. Lalu, pertanyaannya, mengapa kita berambisi memproduksi banyak jurnal internasional jika tidak bisa dinikmati oleh publik kita sendiri?
Pertanyaan ini muncul bukan dalam rangka menciptakan sinisme terhadap publikasi internasional itu sendiri. Tuntutan ”publikasi internasional” sebagai indikator utama dalam menciptakan SDM yang kompetitif di level internasional itu baik. Hanya saja, jika ia tak dibarengi dengan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan, peningkatan daya baca masyarakat, serta pengembangan fasilitas dan infrastruktur riset yang memadai, maka misi menciptakan ”daya saing” SDM masyarakat di level internasional hanya akan berujung pada kesia-siaan. ”Besar” di luar, ”rapuh” di dalam.
Berkaca pada Jerman
Sudah semestinya Indonesia berpikir ulang dalam menetapkan kebijakan ini. Mari belajar pada negara-negara maju bagaimana memosisikan produksi ”jurnal internasional” pada porsi dan tempat yang semestinya. Jerman, misalnya, tak secara ”gegabah” berambisi menggenjot jumlah publikasi internasional. Bagi Jerman, isi kualitas publikasi penelitian lebih penting ketimbang kuantitas.
Yayasan penelitian Jerman, Deutsche Forschungsgemeinschaft (DFG) yang merupakan sebuah organisasi pendanaan penelitian, mengungkapkan tentang larangan untuk menjadikan kuantitas publikasi sebagai indikator utama. Dalam rekomendasinya pada 1998, DFG mengungkapkan, ”Universitas dan lembaga penelitian harus selalu mengutamakan orisinalitas dan kualitas sebelum kuantitas dalam kriteria evaluasi kinerja mereka. Kriteria yang terutama mengukur kuantitas menciptakan insentif untuk produksi massal dan oleh karena itu bertentangan dengan peningkatan mutu kualitas ilmu pengetahuan.
Penggunaan indikator kuantitatif yang dangkal hanya akan merendahkan atau mengaburkan proses peer review.” Bahkan, bagi sebagian besar akademika Jerman, menulis ilmiah dalam Deutsch adalah kebanggaan (pride) dan akan berkontribusi positifterhadap ”diskursus pengetahuan” yang berkembang di kalangan orang Jerman itu sendiri.
Di sisilain, ditengah biaya kuliah yang murah, universitas-universitas publik mereka juga memfasilitasi seluruh sivitas akademika untuk mengikuti program kursus bahasa asing—seperti bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, hingga Arab—secara gratis. Hal ini menunjukkan, pendidikan dan SDM mereka siap untuk bersaing dengan kancah global tanpa perlu menggadaikan jati diri dan visi pendidikan mereka.
Dan, yang lebih penting lagi, negara berperan penting dalam meningkatkan daya baca masyarakat dengancara memfasilitasimasyarakat berbagai ruang baca di berbagai ruang publik, baik di stasiun, taman, maupun bus kota. Jerman hanyalah contoh kecil. Masih banyak contoh dari negara maju lain yang bisa kita adopsi untuk kembali menempatkan ”marwah” universitas sebagai lembaga pendidikan yang adiluhung, yang berperan dalam ”mencerdaskan” masyarakat. Pertanyaan selanjutnya, siapkah kita membentuk ”era baru” pendidikan kita tersebut?
Oleh : Fachri Aidulsyah – Peneliti Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRW BRIN/Kompas, 25 Apr 2024)