yyudhanto on Start-Up Teknologi
30 Apr 2025 03:49 - 4 minutes reading

Fenomena Silent Quitting Dunia Kerja

Fenomena “silent quitting” atau “berhenti diam-diam” telah menjadi sorotan global dalam dunia kerja modern, terutama sejak masa pandemi COVID-19. Istilah ini merujuk pada kecenderungan karyawan—khususnya dari kalangan Generasi Z dan Milenial—untuk membatasi keterlibatan kerja mereka hanya sebatas tanggung jawab yang tertulis dalam kontrak, tanpa melakukan upaya ekstra atau terlibat secara emosional.

Fenomena ini terutama diasosiasikan dengan Generasi Z (lahir sekitar 1997–2012) dan Milenial (lahir sekitar 1981–1996), yang kini mendominasi angkatan kerja global. Kedua generasi ini membawa nilai-nilai baru yang berbeda dari generasi sebelumnya, termasuk soal makna kerja, batas kehidupan profesional-pribadi, dan kebutuhan terhadap fleksibilitas serta kesehatan mental.

Apa Itu Silent Quitting?

Silent quitting bukan berarti karyawan berhenti bekerja secara formal. Sebaliknya, mereka tetap hadir, menyelesaikan tugas sesuai tanggung jawab minimum, tetapi:

  • Tidak mengambil inisiatif lebih
  • Tidak antusias terhadap pekerjaan
  • Tidak tertarik berkontribusi di luar jam kerja
  • Tidak terlibat secara emosional terhadap misi perusahaan

Fenomena ini menjadi bentuk penolakan terhadap budaya hustle, yang selama ini menuntut kerja keras berlebih dan pengorbanan hidup pribadi demi karier.

Melalui perspektif psikologi, silent quitting dapat dipahami melalui engagement theory yang menunjukkan bahwa kurangnya keterlibatan emosional dapat mendorong perilaku pasif seperti silent quitting, embeddedness theory yang menjelaskan bahwa karyawan yang kehilangan keterhubungan emosional, namun tetap bertahan karena alasan eksternal seperti ekonomi, cenderung mengambil sikap tersebut. Selanjutnya, Model Job Demands-Resources (JD-R) menyoroti bahwa ketidakseimbangan antara tuntutan kerja yang tinggi dan sumber daya yang terbatas dapat memicu kelelahan dan penarikan diri. Terdapat beberapa faktor psikologis yang dapat menyebabkan silent quitting, seperti burnout akibat stres kerja berkepanjangan, ketidakpuasan kerja karena kurang pengakuan, kurangnya dukungan organisasi, serta budaya organisasi yang toksik.

Faktor Penyebab Silent Quitting

  1. Kejenuhan dan Burnout
    Banyak karyawan muda mengalami burnout akibat beban kerja yang tinggi, kurangnya penghargaan, dan ekspektasi tidak realistis. Terlebih di era digital, work-life balance kerap kabur karena keterhubungan terus-menerus.
  2. Krisis Makna Kerja
    Generasi Z dan Milenial cenderung mencari makna dan nilai dalam pekerjaan. Jika pekerjaan tidak sesuai dengan nilai pribadi atau tidak berdampak sosial, motivasi mereka menurun drastis.
  3. Kurangnya Keterlibatan Manajerial
    Gaya kepemimpinan lama yang otoritatif dan kurang empatik menjadi salah satu pemicu utama. Karyawan merasa tidak didengar dan tidak dihargai, sehingga membalasnya dengan sikap apatis.
  4. Minimnya Peluang Pengembangan Diri
    Karyawan muda menginginkan pertumbuhan, baik dari sisi keterampilan maupun jenjang karier. Ketika tidak melihat prospek yang menjanjikan, mereka tetap tinggal karena kebutuhan finansial, namun secara psikologis sudah “berhenti”.
  5. Normalisasi Jam Kerja Berlebihan
    Budaya kerja yang mengagungkan lembur atau bekerja di akhir pekan kini dianggap tidak sehat oleh generasi muda. Mereka mulai menolak ekspektasi semacam ini secara diam-diam.

Dari beberapa jurnal hasil penelitian, fenomena ini banyak ditemukan pada generasi milenial dan Gen Z. Generasi ini cenderung mengutamakan keseimbangan hidup kerja dan mencari makna dalam pekerjaan. “Ketika harapan ini tidak terpenuhi, mereka cenderung menarik diri secara emosi dari pekerjaan,” Kendati demikian, fenomena silent quitting yang berkelanjutan ini dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan mental individu.

Dampak Silent Quitting

Fenomena ini berdampak signifikan terhadap berbagai aspek organisasi:

  • Produktivitas menurun: meski pekerjaan selesai, tidak ada kontribusi lebih yang mendorong kemajuan.
  • Inovasi stagnan: kreativitas menurun karena minimnya keterlibatan emosional.
  • Budaya kerja melemah: adanya silent quitting dapat menyebar sebagai “budaya diam” dalam tim.
  • Tingkat retensi rendah: meski secara formal tidak resign, karyawan yang “putus hubungan” ini lebih berisiko keluar secara tiba-tiba.

Cara Organisasi Merespons

  1. Meningkatkan komunikasi dan empati manajerial
    Pemimpin perlu menjadi pendengar aktif dan membangun hubungan interpersonal dengan tim.
  2. Tawarkan fleksibilitas dan keseimbangan hidup
    Work-from-anywhere, jam kerja fleksibel, dan cuti kesehatan mental dapat menjadi insentif non-finansial yang efektif.
  3. Perkuat visi dan makna kerja
    Tunjukkan kepada karyawan bahwa pekerjaan mereka berkontribusi terhadap tujuan yang lebih besar.
  4. Berikan ruang untuk pengembangan diri
    Pelatihan, mentoring, dan jalur karier yang jelas akan meningkatkan loyalitas dan motivasi.
  5. Lakukan survei keterlibatan secara berkala
    Identifikasi gejala silent quitting sebelum menjadi tren berbahaya di dalam organisasi.

Fenomena silent quitting mencerminkan perubahan paradigma dunia kerja modern yang semakin menekankan pentingnya keseimbangan, makna, dan penghargaan terhadap individu. Generasi Z dan Milenial tidak lagi menoleransi eksploitasi terselubung di tempat kerja, dan mulai mengekspresikan sikap mereka melalui bentuk pasif seperti silent quitting.

Organisasi yang ingin bertahan dan berkembang harus mengubah pendekatan mereka terhadap manajemen sumber daya manusia, dengan membangun budaya kerja yang sehat, inklusif, dan kolaboratif. Hanya dengan cara itu, perusahaan dapat menjaga keterlibatan dan produktivitas karyawan muda yang kini menjadi tulang punggung tenaga kerja masa depan.

Daftar Pustaka

  1. Gallup. (2022). State of the Global Workplace: 2022 Report.
  2. Harvard Business Review. (2022). Quiet Quitting Is About Bad Bosses, Not Bad Employees.
  3. Twenge, J. M. (2017). iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy – and Completely Unprepared for Adulthood.
  4. Deloitte. (2023). Global Gen Z and Millennial Survey.

yudho yudhanto uns solo
yudho yudhanto kompas com
yudho yudhanto dirjen vokasi
yudho yudhantookezone
yudho yudhanto inews
yudho yudhanto tribunews

Arsip:

_____

Kategori: