Fenomena “silent quitting” atau “berhenti diam-diam” telah menjadi sorotan global dalam dunia kerja modern, terutama sejak masa pandemi COVID-19. Istilah ini merujuk pada kecenderungan karyawan—khususnya dari kalangan Generasi Z dan Milenial—untuk membatasi keterlibatan kerja mereka hanya sebatas tanggung jawab yang tertulis dalam kontrak, tanpa melakukan upaya ekstra atau terlibat secara emosional.
Fenomena ini terutama diasosiasikan dengan Generasi Z (lahir sekitar 1997–2012) dan Milenial (lahir sekitar 1981–1996), yang kini mendominasi angkatan kerja global. Kedua generasi ini membawa nilai-nilai baru yang berbeda dari generasi sebelumnya, termasuk soal makna kerja, batas kehidupan profesional-pribadi, dan kebutuhan terhadap fleksibilitas serta kesehatan mental.
Silent quitting bukan berarti karyawan berhenti bekerja secara formal. Sebaliknya, mereka tetap hadir, menyelesaikan tugas sesuai tanggung jawab minimum, tetapi:
Fenomena ini menjadi bentuk penolakan terhadap budaya hustle, yang selama ini menuntut kerja keras berlebih dan pengorbanan hidup pribadi demi karier.
Melalui perspektif psikologi, silent quitting dapat dipahami melalui engagement theory yang menunjukkan bahwa kurangnya keterlibatan emosional dapat mendorong perilaku pasif seperti silent quitting, embeddedness theory yang menjelaskan bahwa karyawan yang kehilangan keterhubungan emosional, namun tetap bertahan karena alasan eksternal seperti ekonomi, cenderung mengambil sikap tersebut. Selanjutnya, Model Job Demands-Resources (JD-R) menyoroti bahwa ketidakseimbangan antara tuntutan kerja yang tinggi dan sumber daya yang terbatas dapat memicu kelelahan dan penarikan diri. Terdapat beberapa faktor psikologis yang dapat menyebabkan silent quitting, seperti burnout akibat stres kerja berkepanjangan, ketidakpuasan kerja karena kurang pengakuan, kurangnya dukungan organisasi, serta budaya organisasi yang toksik.
Dari beberapa jurnal hasil penelitian, fenomena ini banyak ditemukan pada generasi milenial dan Gen Z. Generasi ini cenderung mengutamakan keseimbangan hidup kerja dan mencari makna dalam pekerjaan. “Ketika harapan ini tidak terpenuhi, mereka cenderung menarik diri secara emosi dari pekerjaan,” Kendati demikian, fenomena silent quitting yang berkelanjutan ini dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan mental individu.
Fenomena ini berdampak signifikan terhadap berbagai aspek organisasi:
Fenomena silent quitting mencerminkan perubahan paradigma dunia kerja modern yang semakin menekankan pentingnya keseimbangan, makna, dan penghargaan terhadap individu. Generasi Z dan Milenial tidak lagi menoleransi eksploitasi terselubung di tempat kerja, dan mulai mengekspresikan sikap mereka melalui bentuk pasif seperti silent quitting.
Organisasi yang ingin bertahan dan berkembang harus mengubah pendekatan mereka terhadap manajemen sumber daya manusia, dengan membangun budaya kerja yang sehat, inklusif, dan kolaboratif. Hanya dengan cara itu, perusahaan dapat menjaga keterlibatan dan produktivitas karyawan muda yang kini menjadi tulang punggung tenaga kerja masa depan.