Sistem pemantauan mutu air berbasis ”internet of things” memungkinkan pengecekan suhu dan tingkat kekeruhan air dalam waktu nyata. Keamanan pangan dan perubahan iklim menjadi tantangan global. Di tengah situasi tersebut, perkembangan yang terjadi pada budidaya perikanan atau akuakultur dinilai bisa menjadi solusi yang menjanjikan. Indonesia dengan sumber daya perairannya yang melimpah seharusnya dapat memanfaatkan potensi tersebut. Selain wilayah lautan, Indonesia juga memiliki wilayah daratan, termasuk perairan daratan, seperti sungai, waduk, danau, dan rawa. Sistem akuakultur bisa dilakukan di lautan ataupun perairan darat.
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2016, Indonesia menempati peringkat kedua dari 10 besar negara teratas dalam produksi akuakultur setelah China dengan total produksi lebih kurang 14,3 juta ton. Total produksi itu terdiri dari hasil akuakultur daratan, seperti ikan nila dan patin, akuakultur laut seperti kerapu dan ikan tuna, moluska, krustasea seperti udang dan kepiting, hewan akuatik lainnya, dan tumbuhan air seperti rumput laut.
Potensi sumber daya perairan lautini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Di samping itu, potensi tersebut juga bisa menguatkan ketahanan dan keamanan pangan nasional. Produk akuakultur juga merupakan sumber pangan kaya protein hewani yang baik untuk memenuhi kebutuhan gizi warga. Sekalipun Indonesia menempati peringkat kedua negara dengan produksi akuakultur tertinggi, total produksi yang dihasilkan dinilai belum optimal. Total produksi di Indonesia pun masih jauh dari produksi China yang mencapai 58,7 juta ton.
Keterbatasan pemanfaatan teknologi dan kurangnya mutu sumber daya manusia turut menghambat perkembangan akuakultur di Indonesia. Hal itu mendorong sejumlah peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk mengembangkan inovasi budidaya perairan. Perekayasa Ahli Madya Pusat Riset Bioindustri Laut dan Darat BRIN Dini Fronitasari mengutarakan hal itu dalam seminar web bertajuk ”Smart Aquaculture” yang diselenggarakan pada Selasa (19/11/2024).
Menurut Dini, tim peneliti ingin menawarkan solusi lewat inovasi berbasis teknologi bagi pelaku akuakultur untuk meningkatkan profitabilitas ekonomi dan efisiensi produksi, tetapi tetap menjalankan prinsip keberlanjutan. ”Teknologi smart aquaculture (akuakultur yang cerdas) bisa dikembangkan untuk meningkatkan manajemen pakan yang tepat, pemantauan kualitas air secara realtime, mengendalikan lingkungan, dan integrasi dalam pengambilan keputusan berbasis data,” tuturnya.
Teknologi mendukung perlindungan lingkungan, penguatan ketahanan pangan, dan pertumbuhan ekonomi dalam industri akuakultur. Inovasi smart aquaculture membuat proses budidaya lebih efisien dan berkelanjutan, serta meningkatkan praktik tradisional akuakultur.
Lima inovasi teknologi dikembangkan dalam penerapan smart aquaculture. Lima inovasi itu meliputi teknologi pengurangan limbah, pemantauan kesehatan organisme akuatik, pemulihan lingkungan air, efisiensi energi dan sumber daya, dan pemantauan kualitas air.
Kualitas air
Salah satu inovasi smart aquaculture yang berhasil dikembangkan Dini bersama tim peneliti dari Pusat Riset Bioindustri Laut dan Darat BRIN adalah sistem pemantauan mutu air berbasis internet of things (IoT) atau internet untuk segala hal dan SCADA (supervisory control and data acquisition).
Saat ini, tim peneliti mengembangkan produk purwarupa (prototype) dari inovasi tersebut. Indikator yang dipantau pada sistem ini adalah suhu air, kadar oksigen terlarut pada air, tingkat ion hidrogen (pH), tingkat polutan, dan kekeruhan air. Melalui sistem ini, semua indikator tersebut terpantau dalam waktu nyata atau secara langsung (real time) dari jarak jauh.
Menurut Dini, cara tersebut memungkinkan peternak ataupun pembudidaya ikan dalam merespons cepat perubahan lingkungan yang terjadi sehingga masalah yang muncul bisa cepat diatasi. Pada alat monitor berbasis IoT yang dikembangkan sementara ini disematkan empat sensor. Keempat sensor tersebut terdiri dari sensor untuk memantau temperatur dan kadar oksigen terlarut, tingkat kekeruhan, ion hidrogen (pH), dan tingkat polutan air.
Empat sensor tersebut diintegrasikan dalam modul komunikasi nirkabel berbasis IoT yang dapat mengirim data hasil pemantauan secara stabil dan akurat dari lokasi budidaya ke komputer yang berada di lokasi pemantauan. Selain itu, integrasi juga dilakukan dengan perangkat lunak Scada. Sistem Scada ini diperlukan agar data yang terekam bisa divisualisasikan secara real time. Analisis data bisa dilakukan secara historis agar bisa mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik.
Untuk sementara, sistem pemantauan yang dikembangkan masih berbasis web. Sistem pemantauan akan terus dikembangkan agar bisa dioperasikan dengan basis Android dan iOS. Dengan demikian, pemantauan bisa lebih mudah diakses dimana pun. Pengujian dilakukan untuk mengevaluasi pengoperasian sistem pemantauan mutu air yang dikembangkan, termasuk uji sensor dan sistem komunikasi. Pengujian masih berjalan untuk mengetahui fungsi alat, tingkat akurasi pengukuran, dan proses transmisi data pemantauan.
”Kita akan terus memantau parameter kualitas air yang diuji. Jika penelitian ini sudah bisa diterapkan, kita akan kembangkan lagi dengan spesifikas pada setiap budidaya, seperti budidaya rajungan. Baru setelah itu, kita masuk pada tahap otomatisasi,” ujarnya.
Tahap otomatisasi yang dimaksud adalah sistem otomatisasi pakan produk budidaya. Sistem otomatisasi pemberian pakan demi memastikan takaran pakan sesuai populasi budidaya. Sebab, pemberianpakan secara manual selama ini rentan membuat takaran pakan tidak sesuai.
Ekonomi biru
Kepala Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN Umi Karomah Yaumidin, dalam siaran pers, menuturkan, ekonomi biru menjadi pilar pemerintah dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2025-2045. Karena itu, peta jalan ekonomi biru perlu dibuat agar tata ruang darat dan tata ruang laut bisa dimanfaatkan secara lebih optimal dan tidak tumpang tindih. Perencanaan tata ruang darat dan laut sangat penting, terutama karena jumlah penduduk yang terus meningkat.
”Kita harus bisa mengoptimalkan potensi riset dari wilayah laut dan darat serta berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat secara maksimum,” ungkapnya. (Deonisia Arlinta)