Dengan dalih membeli produk NFT (Non-Fungible Token), orang bisa menghilangkan jejak uang yang diperoleh dari hasil kejahatan. Regulasi Indonesia harus diperkuat. Begitu pula kapasitas dari aparat penegak hukum. Lonceng peringatan tentang kemungkinan digunakannya NFT (Non-Fungible Token), berkas digital yang identitas dan kepemilikannya unik yang diverifikasi dalam blockchain atau buku besar digital, sudah disuarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat pada 26 Januari 2022, Wakil Ke tua KPK Lili Pintauli Siregar mengungkapkan, NFT sangat berpotensi digunakan dalam tindak pidana pencucian uang.
”Seseorang bisa saja membuat NFT dan membelinya dengan uang haram. Tentu saja, KPK bisa menelusurinya ke depan dengan menggunakan teknologi blockchain juga,” kata Lili. Pada kesempatan tersebut, Lili merespons pertanyaan yang diajukan oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Gilang Dhiela Fararez terkait bagaimana KPK mengantisipasi perkembangan zaman teknologi informasi 4.0. ”Seperti yang kita tahu, sekarang sudah ada NFT yang heboh, kira-kira KPK mempersiapkan ini sebagai hal apa. Ada NFT, ada metaverse yang ini masih di luar pikiran kita,” tanya Gilang.
Seperti diketahui, pada pekan kedua Januari lalu, negeri ini heboh dengan fenomena Ghozali Everyday yang menjual foto-foto swafoto (selfie) dalam bentuk NFT di lokapasar NFT, OpenSea. Ia meraup untung hingga Rp 1,5 miliar atas penjualannya tersebut.
Potensi ekonomi NFT memang menjanjikan. Yang diperoleh Ghozali boleh dibilang tergolong receh dibandingkan dengan perolehan transaksi NFT lain. Sebut saja Mike Winkelmann, seniman digital/desain grafis/animator Amerika yang dikenal juga sebagai Beeple, yang menjual kolase 5.000 karyanya sebagai NFT dengan nilai 69 juta dollar AS atau setara dengan Rp 1 triliun.
Berdasarkan data pelacak pasar DappRadar, awal Januari lalu, penjualan NFT pada 2021 melonjak drastis hingga mencapai 24,9 miliar dollar AS atau sekitar Rp 357 triliun.
Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan transaksi pada tahun sebelumnya yang membukukan nilai 94 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,3 triliun. NFT yang banyak di pasaran antara lain karya seni, musik, item video game, kartu perdagangan atau barang koleksi, momen olahraga besar yang tidak terlupakan, meme, nama domain, dan mode/fashion virtual.
Pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih saat dihubungi, Jum 28/1/2022), mengatakan, fenomena NFT memang bisa menjadi sarana pencucian uang. Bahkan, Yenti menyebut bahwa potensi pencucian uang di ekonomi digital terbaru itu sangat tinggi. Dengan dalih membeli karya seni yang tak ada parameter pastinya, orang bisa menghilangkan jejak uang yang diperoleh dari hasil kejahatan.
”Sehingga pelaku kejahatan ekonomi, baik itu korupsi maupun pidana lainnya seperti narkoba, bisa menikmati uang miliaran rupiah dengan tenang,” kata Yenti.
Praktisi NFT asal Yogyakarta, Fajar Widi, mengungkapkan, problem pencucian uang sebenarnya merupakan ranah moral atau yang berkaitan dengan integritas seseorang. Apapun teknologinya, jika ada niatan dari pelaku, potensi terjadinya tindak pidana pencucian uang senantiasa ada.
”Yang perlu diatur dulu adalah regulasinya. Pertanyaan berikutnya adalah apakah lembaga antirasuah itu memiliki teknologi untuk melacak kasus pencucian uang?” tanya Fajar.
Menurut dia, tidak mudah untuk membongkar praktik TPPU berbentuk NFT. Memang betul bahwa untuk mendapatkan data transaksi dalam blockchain sangat mudah. Sebab, blockchain pada dasarnya adalah ledger (buku besar) yang memang digunakan untuk mencatat transaksi dari satu alamat ke alamat lain, dan bisa diakses oleh semua orang secara terbuka.
Namun, tambah Fajar, permasalahannya adalah tidak mungkin mencari identitas seseorang pada konsep block-chain yang terdesentralisasi. Sebab, tidak ada proses KYC (know your customer).
KYC merupakan sejumlah standar dan persyaratan yang digunakan untuk industri pelayanan investasi dan finansial untuk memastikan mereka memiliki informasi tentang klien, profil risiko, dan posisi finansial.
”Bayangkan sebuah barang seni yang nilainya bebas di tentukan, disimpan dalam smart-contract blockchain yang terdesentralisasi, dengan crypto wallet yang belum teregulasi,” ujarnya.
Mengaburkan identitas Situs media teknologi daring makeuseof.com dalam artikelnya ”How Are NFTs Used for Wash Trading & Money Laundering?” pada 17 Januari 2022 lalu mengurai lebih detail bagaimana pencucian uang itu dilakukan dalam bentuk NFT.
Salah satu contoh praktik pencucian uang yang dikemu kakan adalah jika sebuah organisasi kriminial menciptakan NFT yang unik dan mengiklankannya di lokapasar. NFT itu kemudian dibeli sendiri oleh organisasi yang bersang-kutan dengan mengaburkan identitas atau hubungannya dengan akun organisasi penjual.
Transaksi itu dilakukan beberapa kali dengan menggunakan dompet mata uang kripto yang besar, bahkan transaksi itu juga menggunakan pertukaran mata uang kripto sampai akhirnya ”bersih”. Meskipun transaksi itu tercatat di blockchain, mengetahui siapa pemilik sebenarnya dompet kripto itu adalah cerita yang berbeda. Salah satu alasannya adalah regulasi KYC dan anti money laundering (AML) tidak tersedia di semua lokapasar.
Belum lagi setiap orang dapat membuka sebuah akun, menawarkan produknya, dan tetap menyembunyikan identitas mereka. Bisa juga pelaku kejahatan menggunakan akun curian, meretas akun, melakukan penjualan lantas menghilang.
Proses penjualan NFT berkali-kali juga akan membawa sebuah kesempatan untuk menaikkan nilai jual, mendorong harga lebih tinggi dari yang seharusnya. Praktik itu disebut wash trading dan menjadi bentuk lain manipulasi NFT. Regulasi yang ketinggalan Yenti menyebut, dalam hal regulasi, Indonesia memang ketinggalan untuk mengantisipasi fenomena perkembangan ekonomi digital seperti NFT.
Padahal, dalam Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bang sa-Bangsa (UNCAC) tahun 1985 sudah diamanatkan kewajiban untuk menyusun strategi atau persiapan menghadapi kejahatan yang dipoles atau dikamuflase dengan menggunakan teknik yang semakin berkembang, terutama ranah digital.
Di dunia ekonomi digital, lanjut Yenti, tantangan untuk mengungkap kejahatan TPPU adalah suatu upaya yang lebih sulit. Sebab, TPPU pada prinsipnya adalah upaya terstruktur dan sistematis untuk menikmati hasil kejahatan tanpa dicurigai orang lain. Oleh karena itu, fenomena NFT tentu bisa menjadi sarana sangat efektif untuk TPPU.
”Tanda-tanda TPPU itu, kan, kalau ada transaksi yang mencurigakan atau tidak wajar. Nah, di NFT ini orang bisa membeli foto atau lukisan dengan harga tinggi sekali tanpa orang curiga, ini sarana empuk untuk TPPU,” jelas Yenti.
Semakin pesatnya perkembangan ekonomi digital, lanjut Yenti, seharusnya melecut semangat dari pemerintah dan aparat penegak hukum. Regulasi maupun kapasitas sumber daya manusia aparat harus ditingkatkan. UNCAC tahun 1985 bahkan sudah mewanti-wanti bahwa pembangunan ekonomi baru yang ditopang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi akan berdampak pada kejahatan siber. Perkembangan ekonomi digital juga menimbulkan kejahatan kerah putih yang semakin canggih mengamuflase dengan mata-mata uang digital dan skema ponzi.
”Makanya, di UNCAC 1985 itu dikatakan bahwa regulasi harus diatur mengikuti perkembangan ekonomi digital. DiIndonesia, regulasi jelas belum optimal. Hanya ada Surat Keputusan Bersama 13 kementerian dan lembaga yang implementasinya kerap terbentur dengan ego sektoral lembagasehingga tidak efektif dan optimal,” tambahnya.
Yenti yang juga Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) itu berpandangan bahwa penegakan hukum TPPU di ranah ekonomi digital baru bisa efektif apabila ada strategi atau antisipasi mitigasi risiko jika terjadi kejahatan siber. Terlebih, pandemi Covid-19 ini ikut mengeskalasi perkembangan ekonomi digital. Ini harus diantisipasi oleh pemerintah dengan melengkapi regulasi dan peraturan yang ada.
Idealnya, Indonesia sudah harus memiliki UU Perampasan Aset dan UU Transaksi Uang Kartal untuk melengkapi UU TPPU yang ada. ”Itu dorongan sudah lama sekali, sejak 2008. Kalau bicara pemulihan aset negara akibat korupsi, harus ada UU Perampasan Aset. Apakah ada komitmen serius dari Presiden Jokowi untuk memenuhi regulasi itu?” terang Yenti.
Bicara tentang memberantas kejahatan ekonomi terutama korupsi, ia menekankan, UU Pemberantasan Korupsi, UU KPK, UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, UU Perlindungan Saksi dan Korban, serta UU TPPU haruslah sepaket dengan UU Perampasan Aset. Jika ada satu UU yang belum disahkan, tentu akan terjadi kekosongan hukum untuk mewujudkan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang menggunakan paradigma tidak hanya pemenjaraan, tetapi juga mengembalikan aset hasil dari kejahatan. ”Kalau kita punya UU TPPU, tetapi tidak punya UU Perampasan Aset seperti dagelan,” tegas Yenti.
Akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo menargetkan RUU Perampasan Aset disahkan tahun ini. Kita tunggu apakah keinginan serupa lahir dari parlemen. Jangan sampai pelaku kejahatan berpesta pora menyamarkan hasil kejahatan mereka di dunia digital.
Referensi : Susana Rita/Dian Dewi Purnamasari/Kompas