Pengetahuan mengenai merek dagang dan penjenamaan (branding) diharapkan dapat menembus berbagai lapisan masyarakat, mengingat tugas pemerintah adalah memfasilitasi sebanyak mungkin pelaku usaha untuk mendaftarkan merek.
Saat mengenal suatu barang yang diperjualbelikan, konsumen cenderung mendistingsikan atau membedakan barang tersebut dengan barang lainnya. Hal ini terepresentasikan dalam jenama atau yang kita kenal sebagai brand. Dalam bahasa Indonesia, brand berarti jenama. Ia umumnya berupa tanda yang dapat ditampilkan secara grafis. Artinya, jenama bisa berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, hingga susunan warna dalam bentuk dua dan/atau tiga dimensi.
Pada era modern dengan kemajuan teknologi saat ini, jenama bahkan dapat berbentuk suara, hologram, atau kombinasi dari kedua unsur tersebut. Salah satu bentuk jenama yang paling populer adalah logo.
Dalam sebuah wawancara daring pada Sabtu (11/3), Ari Juliano Gema, advokat dan praktisi hukum kekayaan intelektual yang pernah menjabat sebagai Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi di Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) serta Staf Ahli Menteri Bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf), memaparkan pentingnya memiliki logo, bahkan bagi industri kecil dan menengah (UKM).
Namun, pembuatan logo mesti dilakukan secara hati-hati karena tidak jarang dianggap merepresentasikan produk lain. Lantas, bagaimana perlindungan terhadap logo? Pasal 65 Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyebutkan bahwa logo, sebagai tanda pembeda dalam penjenamaan suatu produk, tidak dapat memiliki hak cipta. Namun, ia bisa diperlakukan sebagai identitas perlindungan terhadap merek. Oleh sebab itu, pemerintah terus[1]menerus mengupayakan para pelaku usaha untuk mendaftarkan mereknya.
Namun, kendala utamanya, menurut Ari, adalah rendahnya kesadaran publik yang terbentuk dari kurangnya edukasi mengenai perlindungan identitas merek. Padahal, merek yang belum didaftarkan dapat menimbulkan sengketa. Kurangnya pengetahuan ini juga meliputi prosedur pendaftaran merek yang dianggap memakan waktu yang tidak sebentar.
Belum lagi, selalu ada risiko merek ditolak. Akhirnya, keringanan pendaftaran hak kekayaan intelektual (HKI) yang diberikan Bekraf dan Parekraf jadi kurang optimal. Dalam wawancara tersebut, Ari juga mengemukakan beda antara jenama (brand) dan merek dagang (trademark). “Brand adalah istilah marketing, sementara trademark adalah bahasa hukum. Brand sama dengan ‘nama plus makna’, [sedangkan] merek masih berupa nama. Saat orang-orang marketing memberi makna pada nama tersebut, baru [terjadilah] branding,” ungkap Ari.
Merek dagang sendiri merupakan jenama yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Sementara itu, merek jasa adalah jenama yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan. Dengan kata lain, merek dagang dan merek jasa sama-sama mewadahi sebuah aktivitas transaksional.
Pengetahuan mengenai merek dagang dan penjenamaan (branding) ini diharapkan dapat menembus berbagai lapisan masyarakat, mengingat tugas pemerintah adalah memfasilitasi sebanyak mungkin pelaku usaha untuk mendaftarkan merek. Hal ini dilakukan agar pelaku usaha bisa mendapatkan hak eksklusif terhadap merek yang mereka miliki, termasuk memberikan izin atau melarang terjalinnya kerja sama menggunakan merek tersebut. Sehubungan dengan perlindungan, Ari memaparkan 5 HKI yang penting untuk diketahui, yakni merek, paten, desain industri, rahasia dagang, dan hak cipta. Dalam Diagram Pizza HKI buatannya yang kerap ditampilkan pada berbagai sosialisasi, Ari menjelaskan bahwa kelima HKI ini memiliki kata kunci seputar produk: merek memenuhi fungsi; desain industri merujuk pada bentuk; rahasia dagang meliputi informasi; hak cipta mengarah pada konten; dan paten mencakup manfaat produk.
Bagi Ari, tugas untuk memahami informasi mengenai HKI tidak hanya menjadi milik pelaku usaha. Media[1]media penyebarluasan informasi juga mengemban kewajiban untuk mencerdaskan publik sehingga mereka semestinya mampu memahami 5 HKI tersebut. Sementara itu, bagi pemilik usaha, pemahaman terhadap 5 HKI ini dapat membantu menekan disinformasi mengenai pendaftaran merek.
Perlindungan yang diberikan terhadap merek terdaftar di Indonesia tidak jauh berbeda dengan perlindungan di luar negeri. Perlindungan merek umumnya bersifat teritorial, yaitu diberikan di negara tempat pemilik usaha mendaftarkannya. Lama berlakunya perlindungan ini juga sama, yaitu 10 tahun dan dapat diperpanjang. Pada prinsipnya, jenama sebuah produk dagang dan jasa dapat memberikan dampak finansial bagi pencipta atau penyedianya.
Selain mendistingsikan sebuah hasil produksi, jenama juga dapat menjadi alat promosi yang sangat krusial, bahkan menjadi perlambang kekhasan geografis yang dapat meningkatkan pamor dan kebanggaan wilayah yang diwakili. Dalam lingkup yang lebih besar, jenama bahkan dapat mewakili suatu kelompok, baik berupa badan usaha, lembaga atau instansi, maupun wilayah geografis. Nah, dapat dipahami, kan, mengapa pembuatan jenama—terutama merek dagang dan merek jasa—perlu dilakukan masak-masak?
Pemerintah terus mengupayakan para pelaku usaha untuk mendaftarkan merek. Namun, kendala utamanya adalah rendahnya kesadaran publik. Padahal, merek yang belum didaftarkan dapat menimbulkan sengketa.