Hiruk-pikuk revisi Undang-Undang (UU) Desa telah selesai dengan disetujuinya perubahan terhadap UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dari perdebatan yang muncul ada lima poinyang paling disorot, yaitu tentang penambahan penghasilan kepala desa, alokasi anggaran dana desa, insentif kepada rukun tetangga dan rukun warga serta masa jabatan kepala desa.
Namun, perdebatan di publik yang paling menarik adalah tentangmasa jabatankepala desa. Melalui negosiasi dan kompromi akhirnya disetujui masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun dan dapat dipilih kembali sekali. Pertanyaannya, apakah denganperubahanjangka waktu ini, desa akan semakin maju, berdaulat, dan mandiri?
Bung Hatta dalam bukunya, Beberapa pasal Ekonomi, yang ditulisnya saat di pengasingan, membahas tentang pentingnya hubungan antara kota dan desa. Desa adalah sumber produksi pangan dan tenaga yang penting bagi kemajuan kota. Sementara desa adalah pasar yang penting bagi barang-barang dari kota. Jadi jika orang desa hidup miskin, orang kota akan kehilangan pasar. Begitu pula sebaliknya.
Soekarno dalam beberapa pidatonya juga menyampaikan tentang pentingnya landreform agar petani dapat meningkatkan produktivitasnya dengan tanah yang terdistribusi dengan baik kepada para penggarap. Jadi isu tentang kemajuan desa sudah lama disuarakan oleh para pendiri bangsa.
Dengan disahkannya UU Desa pada 28 Maret 2024, maka sudah waktunya melakukan pembenahan dan percepatan agar target dan capaian yang direncanakan bisa terwujud. Terutama dalam kaitan dengan mewujudkan desa yang berdaulat dalam berkebudayaan. Banyak pihak menerjemahkan kebudayaan sebagai kesenian dan pertunjukan saja. Padahal, jika dikaitkan dengan peningkatan kesehatan dan penanggulangan kemiskinan, kebudayaan mempunyai peranan cukup penting.
Desa adalah sumber kearifan lokal yang dapat mendorong pemanfaatan sumber pangan berbasis lokal. Hampir setiap desa di Indonesia mempunyai sumber kalori dan protein yang berasal dari lingkungan sekitar. Selama ini, kita menempatkan beras sebagai sumber pangan utama. Dengan memakan nasi, menunjukkan kelas sosial dan kehidupan yang lebih modern. Pandangan ini terus-menerus tertanam sehingga sumber pangan yang ada seolah-olah hanya beras. Masyarakat di desa-desa pada masa lalu selalu memproduksi sumber pangan yang berasal dari umbi-umbian dan sumber lain yang tersedia di sekitarnya. Hal ini mulai banyak ditinggalkan.
Di luar itu, dalam hal menanggulangi gizi buruk, tetumbuhan dan tanaman obat yang sudah tumbuh di mana-mana dan dipraktikkan sejak dulu kala, telah mampu menjadi sumber yang cukup penting dalam menjaga kesehatan dan bersahabat dengan alam tentunya. Pengetahuan tradisional tentang pengobatan dan fungsi dari setiap jenis tumbuhan sudah banyak ditulis di manuskrip dan secara turun-menurun dipraktikkan melalui tradisi lisan.
SDGs Desa
Melihat potensi kebudayaan yang ada, Sustainable Development Goals (SDGs) Desa merupakan upaya konkret dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. SDGs Desa turunan dari Peraturan Presiden Nomor 59/2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Nasional Berkelanjutan (SDGs Nasional).
Di dalam SDGs Nasional terdapat 17 tujuan pembangunan yang akan dicapai, sedangkan pada SDGs Desa ada 18 tujuan. Ke-18 tujuan tersebut, yaitu :
Desa tanpa kemiskinan, Desa tanpa kelaparan, Desa sehat dan sejahtera; pendidikan Desa berkualitas; Desa berkesetaraan jender; Desa layak air bersih dan sanitasi; Desa berenergi bersih terbarukan, pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi Desa, inovasi dan infrastruktur Desa ; Desa tanpa kesenjangan; kawasan permukiman Desa berkelanjutan; konsumsi dan produksi desa yang sadar lingkungan. Selain itu, pengendalian dan perubahan iklim oleh Desa , ekosistem laut Desa , ekosistem daratan desa; Desa damai dan berkeadilan; kemitraan untuk pembangunan Desa, dan terakhir adalah kelembagaan Desa dinamis dan budaya desa adaptif.
Mengacu pada data Indeks Desa Membangun (IDM) 2023, desa di Indonesia jumlahnya lebih dari 74.400-an.
Terbagi dalam beberapa kategori: desa maju sebanyak 23.030 desa; desa mandiri 11.456 desa; desa berkembang 28.752 desa; desa tertinggal 6.803 desa, desa sangat tertinggal 4.382 desa. Dengan demikian, baru sekitar sepertiga desa yang mencapai level maju dan mandiri. Artinya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan agar desa-desa semakin maju dan mandiri.
Dari segi tataran konsep pembangunan nasional, desa telah mendapat porsi yang cukup penting dalam berbagai aspek pembangunan, baik sumber daya keuangan, kelembagaan maupun kebijakan yang berpihak kepada kemajuan desa.
Salah satu indikator penting adalah SDGs Nasional yang kemudian diturunkan menjadi SDGs Desa, yang menunjukkan bahwa desa mempunyai peranan cukup penting dalam pembangunan nasional. Hal ini relevan dengan pernyataan Bung Hatta bahwa “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi akan bercahaya karena lilin-lilin di desa”.
Desa berbudaya
Dalam rangka pelaksanaan SDGs Desa, yang kemudian diturunkan menjadi rencana pembangunan jangka pendek dan menengah desa, maka desa yang berdaulat adalah desa yang mampu memanfaatkan semua potensi yang ada di desa untuk menyelesaikan problem-problem di desanya. Tentu saja melalui pemanfaatan sumber daya budaya yang ada di desa. Mulai dari penyediaansumber air bersih, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan lainnya. Untuk itu, inventarisasi dan dokumentasi terhadap kebudayaan desa dilakukan, mulai dari sejarah desa, upacara adat, kuliner, sumber pangan lokal, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional dan lainnya yang berkaitan dengan kebudayaan.
Dengan pencatatan yang bagus, diharapkan masyarakat lokal bisa melakukan pengembangan dan pemanfaatan secara lebih terencana dan berkelanjutan. Dalam penanggulangan tengkes dan kemiskinan, misalnya, sumber-sumber pangan lokal yang ada bisa dimanfaatkan dan dikontekstualisasikan dengan kondisi saat ini.
Selain itu, melalui pemanfaatan ragam kebudayaan yang ada seperti penyelenggaraan festival dan bazar, akan memperkuat kohesi sosial antarmasyarakat sehingga nilai-nilai gotong royong yang sudah ada sejak lama dapat terus terbangun. Hal yang tidak kalah penting adalah keterlibatan kaum perempuan dan anak-anak dalam proses regenerasi dan memperkuat identitas desanya.
Desa mandiri dan maju adalah desa yang mampu memanfaatkan potensi kelokalannya untuk menjadikannya jati diri dan sumber perekonomian desa, dengan tak meninggalkan nilai-nilai budaya yang ada di desa. Peran kepala desa yang masa jabatannya delapan tahun dan bisa mencapai 16 tahun, diharapkan dapat menggali dan mengajak generasi muda dan kaum terpelajar melihat kembali potensi yang ada di desa.
Potensi budaya yang selama ini mungkin hanya dilihat sebagai hal biasa-biasa saja, bisa dikelola agar lebih berdaya guna dan berhasil guna. Dengan adanya dana desa yang jumlah semakin meningkat dari tahun ketahun, sudah waktunya desa mengalokasikan sebagian dananya untuk pemajuan kebudayaan desa. Melalui kebudayaan, dapat membantu menyelesaikan problem-problem yang lebih besar lainnya, terutama yang berkaitan dengan SDGs Desa.
Jika dulu perjuangan melawan penjajah digerakkan oleh kaum terpelajar perkotaan, kini kemajuan peradaban Indonesia dimulai dari desa-desa. Desa adalah khas Asia. Desa tetap bertahan meskipun menghadapi gempuran orientalisme, kolonialisme, modernisasi, dan neoliberalisme. Namun, meskipun bertahan, jiwa raga desa dalam kondisi sakit, yang tidak mati, tetapi juga tidak sehat dan kokoh. Kini desa tidak lagi mempunyai stereotip negatif ’orang ndeso’ tetapi desa adalah sumber pengetahuan, sumber kearifan, dan sumber kemakmuran.
Dalam konteks politik, desa adalah lumbung suara yang cukup penting dalam kontestasi politik lokal dan nasional. Desa tak lagi berkesan kuno, tertinggal dan terbelakang, sudah banyak kaum terpelajar yang mengabdikan dirinya jadi kepala desa dan perangkat desa. Desa Panggungharjo, Bantul, dengan kepala desa yang sangat terpelajar, telah mampu melakukan gerakan kolaborasi, konsolidasi dan negosiasi sehingga membawa reformasi dalam tata kelola sumber daya desa yang lebih berdaya guna.
Di luar itu tentu sudah banyak capaian penting di desa-desa lain yang perlu dijadikan model pembangunan desa sehingga warga desa lebih berdaulat dalam menentukan masa depannya dan desa menjadi lebih berbudaya.
Restu Gunawan | Sejarawan; Pengurus HIPIIS; Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Ditjen Kebudayaan