Pengukur Kekuatan Otot Lebih Presisi : Alat pengukur kekuatan otot pasien rehabilitasi pascastroke yang dikembangkan peneliti dari Universitas Diponegoro mampu memberikan hasil pengukuran yang lebih akurat. Selama ini, pengukuran kekuatan otot pada pasien rehabilitasi pascastroke masih dilakukan secara manual. Lewat alat yang dikembangkan oleh peneliti di Universitas Diponegoro Semarang, hasil pengukuran kekuatan otot pasien menjadi lebih akurat.
Stroke merupakan gangguan fungsi sistem saraf akibat peredaran darah ke otak terganggu. Gangguan pada pembuluh darah tersebut bisa disebabkan pembuluh darah di otak yang tersumbat atau pembuluh darah di otak yang pecah. Ketika seseorang terkena stroke, dampaknya bisa berbagai macam, mulai dari menurunnya kekuatan otot, hilangnya sensibilitas sebagian anggota tubuh,hingga menurunnya kemampuan menggerakkan anggota tubuh. Karena itu, setelah stroke yang dialami teratasi, pasien memerlukan terapi pemulihan pascastroke.
Selama terapi, pasien akan menjalani sejumlah latihan untuk meningkatkan kekuatan otot. Dengan begitu, fungsi motorik anggota gerak pasien diharapkan bisa kembali normal. Namun, sebelum terapi pascastroke dilakukan, dokter perlu mengukur kekuatan otot pasien. Selama ini, pengukuran kekuatan otot lebih banyak dilakukan manual. Kekuatan atau kontraksi otot dilihat dari kemampuan pasien ketika mengangkatlengan, menekuk, menggenggam, atau mempertahankan kontraksi saat tangan atau kaki melawan arah gravitasi. Sekalipun hasil pemeriksaan itu sudah dianggap cukup untuk menggambarkan kriteria atau tingkatan kekuatan otot pasien, pemeriksaan otot secara manual tersebut bersifat subyektif.
Hasilnya juga kurang akurat serta tidak ada angka pasti terkait nilai kekuatan otot pasien. Karena itu, perlu ada alat khusus yang bisa mengukur kekuatan otot dengan hasil yang terukur. Alat pengukur kekuatan otot sebenarnya sudah tersedia. Akan tetapi, produk tersebut merupakan buatan luar negeri yang harganya sangat mahal, sekitar Rp 320 juta.
MyoMES
Tim peneliti dari Pusat Unggulan Ilmu Pengetahuan Perguruan Tinggi (PUI-PT) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang berupaya mengembangkan alat khusus untuk mengukur kekuatan otot. Alat ukur yang telah diberi nama ”MyoMES” tersebut kini dalam tahap hilirisasi di PT Mursmedic Jaya Mandiri. Diharapkan pada 2024 ini, produk tersebut sudah bisa dipasarkan dan masuk pada e-catalog.
Peneliti yang mengembangkan MyoMES, Rifky Ismail, yang juga Ketua Program Studi Teknik Mesin Undip, ketika dihubungi dari Jakarta, Sabtu (21/1/2024), mengatakan, penelitian dan pengembangan MyoMES mulai dilakukan pada 2018. Alat ukur kekuatan otot ini dikembangkan untuk mendukung pemanfaatan inovasi tangan bionik. Tangan bionik merupakan tangan palsu berbasis robotik untuk menggantikan fungsi tangan yang hilang akibat kelainan ataupun amputasi. Sebelum dipasang ke pasien, pemeriksaan kekuatan otot harus dilakukan untuk menentukan lokasi optimal terjadinya kontraksi otot. Lokasi tersebut yang nantinya akan menjadi tempat penempatan sensor tangan bionik. ”Sebelum memasang tangan bionik, kita harus tahu tingkat kontraksi otot yang tersisa. Barulah saat itu, sekitar tahun 2018, kami mulai membuat alat untuk mengukur kekuatan otot sehingga proses pemasangan tangan bionik bisa lebih lancar,” ujar Rifky. Dalam proses pengembangan, alat ukur kekuatan otot itu ternyata dapat dimanfaatkan pula untuk pasien terapi pascastroke. Mulai saat itu, pengembangan alat ukur kekuatan otot difokuskan bagi pasien rehabilitasi pascastroke.
Pada prinsipnya, MyoMES dapat dipakai untuk mengukur kekuatan otot saat kontraksi. Pengukuran dapat dilakukan di berbagai titik ukur, seperti di tangan, kaki, leher, atau lokasi ototlainnya. Alat ini akan membantu dokter untuk mengevaluasi fungsi dan kekuatan otot individu berdasarkan kinerja gerakan tubuh. Pengukuran dapat dilakukan sebelum dan sesudah terapi rehabilitasi pascastroke diberikan. Dengan hasil yang akurat, evaluasi terhadap kondisi pasien bisa lebih baik. Intervensi lanjutan yang diberikan pun menjadi lebih tepat.
MyoMES bekerja untuk mengukur kekuatan otot berbasis sensor elektromiografi permukaan (EMG). Sensor EMG telah digunakan untuk memprediksi kemampuan motorik manusia. Dilengkapi dengan baterai yang tertanam pada alat, MyoMES dapat dibawa dengan mudah. Alat ini memiliki ukuran panjang 19 sentimeter (cm), lebar 11,5 cm, dan tinggi 5,5 cm.
Secara teknis, setelah saklar pada alat dinyalakan, sensor dapat disambungkan pada port yang tersedia. Setelah itu, sensor alat diletakkan di permukaan kulit di titik tempat kekuatan otot yang akan diperiksa. Setelah itu, lampu indikator akan menyala dengan menunjukkan hasil tingkat kekuatan otot. Terdapat delapan lampu indikator yang disematkan pada MyoMES sesuai tingkatan kontraksi otot yang dihasilkan.
Level1 merupakan tingkatan paling lemah dan level 8 merupakan tingkatan paling kuat. Pada pengembangan terbaru, alat dilengkapi dengan layar digital sehingga hasil pengukuran dapat dilihat dalam bentuk persentase angka. Peneliti juga tengah mengupayakan konektivitas dengan sistem Android. Untuk sementara, alatini baru bisa digunakan di fasilitas kesehatan yang dioperasikan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain.
Alat Ukur Kekuatan Otot : MyoMES. Alat untuk mengecek dan mengukur kekuatan kontraksi otot. Membantu dokter untuk mengevaluasi fungsi dan kekuatan otot individu dan kelompok berdasarkan kinerja gerakan yang efektif dalam kaitannya dengan gaya gravitasi dan resistensi manula.
Fungsi :
• Mendeteksi otot pasien disabilitas.
• Monitoring kinerja otot pasien stroke.
• Monitoring kekuatan otot manula.
• Screening stunting dengan otot.
Keunggulan :
• Bentuk compact dan mudah dibawa.
• Menggunakan sensor permukaan, tidak perlu dilakukan operasi.
• Kompatibel dengan sensor yang sudah ada di pasaran.
• Data pengukuran diambil dalam bentuk soft file untuk memudahkan evaluasi saat masa rehabilitasi.
Dukungan Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Lucia Rizka Andalucia dalam acara peluncuran ”Pedoman Hilirisasi Penelitian Alat Kesehatan” di Jakarta, Jumat (19/1), menyampaikan, hilirisasi penelitian alat kesehatan nasional terus dipacu. Kerja sama pentaheliks akan terus diperkuat, mulai dari pemerintah, peneliti, industri, hingga perguruan tinggi. Saat ini, mayoritas alat kesehatan di Indonesia masih didominasi alat kesehatan impor.
Data pada 2022 menunjukkan, jumlah izin edar alat kesehatan dalam negeri (AKD) sebanyak 14.318. Jumlah itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan izin edar alat kesehatan luar negeri (AKL) yang sebanyak 54.627. Produk AKD juga hanya 425 jenis, sementara produk AKL mencapai 1.554 jenis. ”Ketahanan di sektor alat kesehatan tidak bisa kita lihat hanya dari sisi akses atau ketersediaan saja. Namun, jika ingin berkelanjutan, kita harus mulai dari hulu hingga hilir, mulai dari riset dan pengembangan, produksi, sampai ke distribusinya,” ujar Rizka. (Deonisia Arlinta/Kompas/Humaniora)