Cara Melatih dan Mempelajari Tanggung Jawab
Kata “tanggung jawab” kita gunakan sehari-hari, baik dalam pekerjaan maupun di lingkungan keluarga. Sejak kecil anak-anak diajarkan untuk bertanggung jawab dengan maerapikan tempat tidurnya, mainan yang sudah dipakai, mengembalikan barang yang dipinjam, sampai mencuci piring gelas makan-nya sendiri.
Ketika seorang karyawan ditunjuk untuk menduduki posisi tertentu, ia tentu akan menanyakan ruang lingkup tanggung jawabnya sejauh apa, sampai dengan angka target yang diharapkan perusahaan terhadapnya. Dari sini sepertinya konsep tanggung jawab cukup jelas dipahami.
Namun, pertanyaanya adalah bagaimana seorang individu menghidupkan tanggung jawab dalam dirinya sampai menjadi pribadi yang bisa diandalkan?
Kita sering melihat atasan yang biasa tetap tenang seolah-olah tidak berurusan dengan kesalahan anak buahnya. Bahkan ketika anak buah dipecat, ia sendiri pun tidak merasa bertanggung jawab terhadap situasi tersebut. Ada juga orang yang selalu jeli melihat kesalahan orang lain, tetapi tidak berusaha mengkaitkan situasi tersebut dengan dirinya, seolah-olah dia memang terpisah dari situasi tersebut.
Bagaimana orang bisa mengembangkan pribadi tanpa rasa tanggung jawab seperti ini? ternyata rasa tanggung jawab tidak bisa diemban dengan cara menempelkannya begitu saja ke pribadi kita.
Yang berarti bahwa : Tanggung jawab adalah tentang lebih dari sekedar mampu berpakaian sendiri dengan benar
Ada banyak individu yang tidak mengembangkan tanggung jawab dirinya dengan konsisten dalam progresif. Bahkan yang cukup pintar malah bisa menemukan alasan ketidakmampuan ini. Ada seorang dewasa muda yang membuat alasan bahwa ia mencuri uang ibunya karena kurang perhatian dan membutuhkan kasih sayang. Alasan ini membuat orang iba dan mencoba berempati dengan dirinya.
Dengan cara ini si pelaku berhasil untuk tidak bersusah payah merasa konflik dan benturan yang sebenarnya bisa membuatnya menarik pelajaran bagi perkembangan pribadinya.
Ada juga individu yang tidak bisa bekerja dengan akuntabilitas yang tuntas, tidak memiliki inisiatif, dan terus menerus menghindari tanggung jawab yang berat. Alasannya adalah sejak kecil menyaksikan ayahnya dipersalahakan terus oleh atasanya sehingga iapun takut melakukan kesalahan. Ia tampaknya tidak memiliki mekanisme bagaimana memperkuat kepribadiannya, bagaimana bertumbuh dari penyelesaian kesulitasn, ujian dan belajar penanganan konflik.
Anak kecil yang bermain api dalam kemudian tersundut akan belajar menggunakan api dengan cara yang aman. Anak yang tidak berdaya melihat ayahnya melakukan KDRT ke ibunya, bisa tumbuh menjadi orang yang berjanji pada dirinya untuk tidak melakukan KDRT kepasanganya, atau justru sebaliknya malah meniru ayahnya.
Itu semua bergantung bagaimana ia menumpuk pengalaman tersebut menjadi pembelajaran dirinya. Ada yang berdisiplin dan bersikukuh untuk menjadi pribadi yang kuat, ada pula yang membiarkan dirinya untuk tumbuh tanpa kontrol.
TANGGUNG JAWAB PRIBADI HARUS DIGARAP
The way your life is, either good or bad, is primarily your creation.
Memberikan arti bahwa : Cara hidup Anda, baik atau buruk, pada dasarnya adalah ciptaan Anda.
Rezeki dan nasib orang bisa berbeda-besa. Apapun profesinya, individu memiliki pilihan untuk menjadi orang yang berkualitas prima atau tidak. Tukang sapu di jalanan sekalipun bisa berkepribadian prima.
Jadi bagaimana cara individu dapat meningkatkan kualitas tanggung jawabnya?
(1) Pertama, seorang dewasa harus bisa bertanggung jawab sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya. Seorang disabilitas yang membutuhkan bantuan orang lainpun memiliki tanggung jawab untuk memberdayakan dirinya, mengurus dirinya sendiri sejauh yang ia bisa dan mengembangkan dirinya dari hari kehari.
(2) Kedua. Ownership yang ekstrem. Menyadari bahwa apapun yang kita miliki saat ini merupakan buah upaya dan pilihan kita sendiri. Kita bisa tidak sukses, kitapun bisa memiliki pengalaman yang buruk atau baik. Namun, kita harus sadar bahwa sikap kita terhadap masa lalulah yang akan menentukan masa depan kita.
Sebagai individu, kita memiliki kecenderungan untuk meyakini bahwa beragam faktor diluar diri kitalah yang mengontrol hidup dan pengembangan diri kita. Kita sering lupa bahwa kita adalah pencipta pribadi kita di masa lalu, sekarang dan masa depann. Kitalah yang membentuk bobot tanggung jawab yang terkandung dalam tingkah laku kita lengkap beserta konsekuensi-konsekuansinya.
Kita bisa berada di lingkungan yang penuh stereotip dan diskriminasi sehingga tidak mendapat kesempatan yang sama dalam suatu peluang. Namun, itu tidak membenarkan tindakan kita untuk mendiskriminatifkan juga kepada orang lain.
TANGGUNG JAWAB ITU KETERAMPILAN YANG BISA DIPELAJARI
Tanggung jawab tidak terberi saat bayi lahir. Rasa tanggung jawab tumbuh secara sosial. Kita mengalami dan mendengar berbagai hal, baik dan buruk, benar dan salah, menyenangkan maupun menyakitkan dari lingkungan kita baik secara daring maupun luring.
Lalu bagaiamana cara mengembangkan tanggungjawab pribadi ini?
(1) Langkah Pertama adalah BERKACA. Kita perlu jujur pada diri sendiri, mengukur kekuatan dan kelemahan kita, serta menemukan hal-hal yang selama ini tidak kita selesaikan ecara tuntas.
(2) Langkah Kedua adalah BERLATIH. Berusaha merangkul semua tindakan dan reaksi-reaksi kedalam tanggung jawab kita, bukan orang lain. Dalam permasalahan yang kita hadapi, kita perlu bertanya apa peran kita disitu, apa yang seharusnya kita lakukan tetapi tidak kita lakukan, apa yang seharusnya tidak kita lakukan tetapi justru kita tergoda untuk melakukannya.
(3) Langkah Ketiga adalah Menghapus Penundaan. Kebiasaan menunda adalah gambaran pribadi yang kurang bertanggung jawab atas komitmen individunya. Mengubah kebiasaan untuk tepat waktu dan menuntaskan pekerjaan adalah latihan yang paling mudah untuk mengokohkan tanggung jawab pribadi kita. Tinggal kita perlu mempertanyakan kepada diri kita sendiri : berani susahkah kita?
Sumber : Eileen Rachman & Emilia Jakob
Post Comment