Adakah yang tahu asal muasal pengadilan di negeri ini? Dulu dikenal dengan landraad, landraad (pengadilan) di masa kolonial berlangsung di kantor dan sekaligus kediaman regent (bupati). Ini disebabkan pengadilan kala itu tidak sering terjadi, dan tidak diadakan setiap hari, maka biasanya diadakan di kantor regent (bupati).
UU Hukum Belanda di pengadilan disesuaikan dengan hukum adat yang berkaitan dengan hukum Islam. Karenanya, pengadilan yang terdakwanya warga pribumi harus didampingi oleh seorang kadi yang menguasai hukum fiqih (agama Islam).
Dalam foto di kursi kedua bagian kiri tampak seorang kadi bersorban dengan tekun mengikuti jalannya persidangan. Sedangkan di ujung sebelah kanan tampak wakil dari regent karena peristiwa terjadi di daerahnya.
Menurut sejarawan Dr dr H Rushdy Hoesein, pengadilan di masa kolonial tidak mengenal diskriminasi. Warga Belanda yang diadili juga harus duduk di ubin, tidak peduli pangkat dan jabatannya. Termasuk seorang residen, jabatan semacam bupati sekarang ini yang diisi warga Belanda.
Melihat busana yang mereka pakai, tiga orang yang diajukan sebagai terdakwa rupanya dari keluarga terhormat. Dalam struktur kolonial juga terdapat Asisten Residen.
Contohnya adalah Max Havelaar yang menjadi asisten residen Lebak di Banten. Dia dibantu oleh seorang kontrolir. Pengadilan kolonial tidak mengenal pembela melainkan saksi dan tuduhan dibacakan dalam bahasa Belanda. Bila di pengadilan terdakwa tidak terbukti bersalah, dia akan dibebaskan.
Bila bersalah apalagi sampai melakukan pembunuhan, vonis hakim adalah hukuman gantung. Sementara ketua persidangan menanyakan terdakwa, “Amat apa kowe (kamu, bahasa Jawa) tau dan jelas itu semua tuduhan.” Ketika dijawab si Amat, “Belum jelas tuan besar.” Lalu tuduhan dibacakan dalam bahasa Melayu oleh penerjemah. “Kowe tanggal sekian bulan sekian melakukan penganiyaan hingga korban meninggal dunia,” kata penerjemah.
Apabila si tertuduh menyangkal atas perbuatannya yang dituduhkannya, maka sang kadi akan bertanya, “Apa kamu berani sumpah akan dikutuk Allah bila berdusta?” Biasanya si terdakwa tidak berani berbohong.
Di foto paling awal, menunjukkan Landraad, pengadilan tempat pribumi diadili. Pati, 1860-an. Majelis hakimnya diketuai pejabat tinggi berkebangsaan Eropa, biasanya residen/asisten res. Anggotanya pejabatĀ² pribumi dari bupati hingga asisten wedana. Bupati Pati, RAA Tjondroadinegoro, duduk di kursi ketiga dari kiri.
Paling kanan H. Minhat, penghulu Pati. Ia penasehat. Dalam kasusĀ² seperti perceraian dan waris, ia juga jadi hakim. Paling kiri Oei Hotam, kapitan Cina Pati. Untuk urusan pidana, status bangsa Asia Timur disamakan dengan Pribumi, sehingga wakil mereka juga ada di landraad.
Landraad ini di kemudian hari bertransformasi jadi Pengadilan Negeri. Tak heran dalam beberapa bahasa daerah, landrat berarti pengadilan, dilandrat maksudnya diadili.