
Kota Solo selalu tampak tenang dari jauh: alun-alun yang teduh, keraton yang menahan waktu, dan deretan pohon yang membatasi jalan utama. Namun pada pagi itu, 7 Agustus 1949 kota yang biasa menenun batik dan menyelenggarakan upacara adat berubah menjadi panggung tegang yang dipenuhi langkah kaki para pejuang, deru kendaraan berkawat baja, dan asap yang menggumpal di langit pagi. Apa yang dimulai sebagai rencana yang dibentuk dalam rapat malam hari di hutan-hutan sekitar sekarang berubah menjadi empat hari yang menentukan harga diri republik. [1]
Pada bulan Agustus 1949, Indonesia berada pada titik krusial perjuangan dalam Revolusi Nasional. Menjelang implementasi cease fire antara Republik Indonesia dan Belanda. TNI memilih melancarkan Serangan Umum Empat Hari di Solo (Surakarta), sebuah operasi militer dramatis sebagai bukti kedaulatan dan kekuatan rakyat menjelang akhir fase bersenjata dalam perjuangan kemerdekaan. Operasi ini mencatat satu bab heroik: keberanian pasukan terbatas, infiltrasi strategis, hingga perjuangan mempertahankan martabat bangsa di hadapan kekuatan superior Belanda.

Sejak akhir 1948, Belanda kembali menduduki Jawa Tengah, termasuk Yogyakarta dan Solo, meski Republik masih ada secara terselubung. Serangan umum ke Solo yang paling akhir adalah puncak dari rangkaian operasi sebelumnya: Serangan Umum pertama pada 8 Februari 1949 dan kedua pada 2 Mei 1949 [1], [2]. Waktu itu Solo di pimpin oleh Soeharjo Soerjopranoto (10 Juli 1949 – 1 Mei 1950)
Solo merupakan kota strategis, markas kuat pasukan Belanda. Setelah perjanjian Roem–Royen, pertahanan Belanda di Solo bahkan diperkuat hingga 11 batalyon, di bawah komando Kolonel van Ohl, tentara profesional dengan pengalaman panjang perang dunia [1].

Kekuatan Belanda di Solo Raya
Menjelang gencatan senjata—yang diumumkan pada 3 Agustus untuk berlaku 11 Agustus—TNI memutuskan bertindak proaktif untuk mendapatkan posisi politik dan militer kuat. Pada 5 Agustus, dikeluarkan Perintah Siasat No. 1/8/SWK/A3/Ps-49, yang memerintahkan serangan umum besar-besaran ke Solo mulai 7 Agustus [2].
Operasi ini digerakkan oleh:
Pasukan yang dikerahkan diperkirakan sekitar 2.000–28.000 anggota, terdiri dari Tentara Pelajar (TP), Laskar, SA/CSA, Brigade V, dan TNI reguler. Sebaliknya, kekuatan Belanda di Solo diperkirakan 3.000–4.000 pasukan KNIL dan pasukan khusus (KST/RST) [1], [3], [5].
7 Agustus 1949 (Hari Pertama):
Serangan dimulai sekitar pukul 06.00 WIB, pasukan TNI dan gerilya menyusup Solo dari empat penjuru: utara, selatan, timur, barat [2], [1], [8], [5]. Mereka menyerbu pos-pertahanan Belanda: Jebres, Jurug, Jagalan, Banjarsari, serta markas artileri [1], [9], [5]. Balasan Belanda brutal—pengeboman udara dan artileri menghuncurkan permukiman sipil [1], [9], [5].
8 Agustus (Hari Kedua):
Pertempuran berlangsung sengit sejak pagi. TNI memutus komunikasi Belanda dan menambah rintangan di sekitar Pasar Kembang [1], [9], [5]. Korban sipil meningkat tinggi. Di Pasar Kembang, Belanda mengeksekusi 24 orang—termasuk anak-anak dan perempuan [1], [9].

Monumen Pasar Nongko Solo (Pahlawan Gugur tgl 9 Agustus 1949)
9 Agustus (Hari Ketiga):
Belanda mengerahkan pasukan bantuan dari Semarang: infanteri, kavaleri, pasukan baret hijau (DST), tank, dan KST [1], [5], [10]. Namun, bantuan terhalang oleh rintangan jalan dan perlawanan TNI di Salatiga serta Boyolali [1], [10], [5]. Komplotan Seksi I gugur, warga sipil makin menjadi korban [1], [5], [9].
10 Agustus (Hari Keempat – Puncak):
Letkol Slamet Rijadi memimpin Afscheidsaanval—serangan perpisahan—sejak pagi hingga tengah malam [10], [5], [1], [3]. Pertempuran mereda saat gencatan senjata yang ditetapkan berlaku pukul 00.00 WIB, 11 Agustus 1949 [10], [8], [1].
Pertempuran membawa dampak :
Perang Empat Hari tidak berlangsung dalam isolasi. Wilayah sekitar Solo menjadi medan penting yang mempengaruhi jalannya operasi:
Dengan demikian, medan tempur Perang Empat Hari sebenarnya meliputi lingkar pertahanan besar di seluruh Karesidenan Surakarta.

Daftar Nama Pahlawan Gugur
Meski TNI secara militer gagal merebut Solo secara permanen, serangan ini berhasil melemahkan moral Belanda dan memperkuat posisi diplomasi Republik dalam negosiasi KMB di Den Haag [3], [1], [11]. Solo pun kemudian dikembalikan kepada Republik setelah perjanjian KMB dan penyerahan kekuasaan pada 12 November 1949 [3], [4]. Peringatan atas keberanian ini juga direfleksikan lewat penamaan jalan utama di Solo: Jl. Brigjen Slamet Riyadi [3].

Monumen Pertempuran Solo di Jalan Parang Kesit No.34, RT 02/RW O4, Sondakan, Laweyan

Keberhasilan moral operasi ini tak lepas dari kepemimpinan karismatik Letkol Slamet Rijadi dan semangat juang Tentara Pelajar serta rakyat Solo [1], [6], [4], [5]. Mayor Achmadi, meski masih muda, memimpin pasukan tentara pelajar dengan gigih, termasuk pada hari pertama serangan [7], [5], [6].
| Peran saat Perang | Terakhir |
| Letkol Slamet Rijadi – Komandan Brigade V “Panembahan Senopati” TNI | Gugur 4 November 1950 di Ambon saat menumpas RMS; diangkat Pahlawan Nasional 2007. |
| Mayor Achmadi – Wakil Komandan Operasi Solo | Lolos dari pertempuran; kemudian menjabat di TNI AD; wafat di usia lanjut. |
| Kolonel van Ohl – Komandan pasukan Belanda di Solo | Tidak banyak catatan publik; pasca KMB kembali ke Belanda. |
| Letkol Soeharto – Komandan Brigade 10 TNI di Boyolali (penyangga Solo) | Kelak menjadi Presiden RI ke-2 (1967–1998); wafat 27 Januari 2008. |
| Kapten Winarno – Komandan sektor Klaten | Selamat; melanjutkan karier di militer; data kematian tidak terdokumentasi luas. |
| Kapten Soemadi – Komandan sektor Wonogiri | Selamat; aktif dalam operasi pasca-KMB; informasi detail terbatas. |
| Kapten Surono – Komandan sektor Karanganyar | Gugur dalam kontak senjata kecil di awal 1950-an melawan DI/TII. |
| Letnan Satu Sutarto – Komandan peleton pasukan eks-Siliwangi di Sragen | Selamat; kembali ke Jawa Barat pasca-KMB; meninggal tahun 1980-an. |
| Mayor Ventje Sumual – Perwira TNI yang bertugas di koordinasi logistik Solo | Selamat; kelak terlibat PRRI/Permesta (1958), meninggal 2010. |
| Letnan Satu Supardjo – Komandan peleton TP (Tentara Pelajar) | Selamat; kemudian menjadi tokoh 1965; dieksekusi 12 Maret 1970. |
Peran Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran dalam Perang Empat Hari di Solo (7–10 Agustus 1949) tidak bisa disederhanakan dalam kesimpulan yang mutlak, karena sikap kedua istana dipengaruhi oleh situasi politik, tekanan Belanda, dan dinamika internal istana sendiri. Secara politik, Keraton Kasunanan pada masa itu cenderung berhati-hati dan tidak secara terbuka membantu TNI dalam perang. Hal ini dipengaruhi oleh trauma politik sejak 1945–1946 ketika Surakarta sempat berstatus Daerah Istimewa, tetapi kemudian dicabut akibat gejolak politik di Solo. Ada juga catatan bahwa wilayah sekitar Pura Mangkunegaran digunakan sebagai jalur gerilya kota, dan beberapa fasilitasnya dimanfaatkan secara sembunyi-sembunyi untuk menyembunyikan pejuang atau peralatan [12].
Perang Empat Hari di Solo merupakan lambang keberanian dan keteguhan bangsa dalam mempertahankan kedaulatan dalam situasi paling sulit. Meski pasukan TNI terdisi peralatan, mereka membuktikan bahwa tekad dan strategi dapat menahan kekuatan yang nominal lebih unggul. Peristiwa ini juga menjadi wink kecil diplomasi dalam revolusi, menyadarkan dunia tentang legitimitas Republik Indonesia. Serangan Umum Empat Hari di Solo bukan hanya pertempuran militer, ia adalah perpaduan antara gerilya wilayah, kekuatan rakyat, dan dinamika kelembagaan keraton. Peran tersembunyi Mangkunegaran, dukungan moral dari Kasunanan, serta peran strategis daerah penyangga membuktikan bahwa kemerdekaan lahir dari solidaritas multifaset bangsa.
Hargai Selalu Jasa Pahlawan dan Pendahulu kita…. itu kewajiban (y)
[1] IKPNI, “Serangan Umum Empat Hari di kota Sala (7–10 Agustus 1949)”, IKPNI, Nov. 2022.
[2] Pussemad, “Perintah Serangan Umum Solo”, J. Indonesian History, 1965.
[3] P. Setyaningrum, “Siege of Surakarta”, Wikipedia, Apr. 2025.
[4] Sejarah TNI, “Mengenang Sosok Pahlawan Nasional Brigjen Anumerta Ignatius Slamet Rijadi”, 2019.
[5] Mediamanado.com, “Solo Digeruduk Tentara Pelajar, Pers Belanda Geger”, 2018.
[6] Kemdikbud, “Peranan Tentara Pelajar dalam Serangan Umum Empat Hari di Solo”, 2017.
[7] Merdeka.com, “SO 1 Maret, 4 di Solo juga ada Serangan Umum”, 2020.
[8] Medcom.id, “Ketika Merah Putih Kembali Berkibar di Kota Solo”, 2015.
[9] Blogmasadi.com, “Serangan Umum di Solo”, 2020.
[10] Republika.co.id, “Mengunci Belanda di Solo”, 14 Aug. 2015.
[11] Kompas, “Serangan Umum Surakarta: Latar Belakang, Kronologi, dan Penyelesaian”, 2021.