Menyelami sejarah tentang berakhirnya Daerah Istimewa Surakarta pasca kemerdekaan Indonesia adalah penting untuk memahami budaya dan karakter Solo kota tercinta. Tahun 1946, Bayangan revolusi sosial di Sumatra Timur yang merenggut banyak sekali bangsawan Melayu, membayang terjadi di Surakarta. Sehingga pemerintah RI lekas bertindak turun tangan mengamankan kraton di Surakarta.
Pasal 18 UUD 1945 menegaskan untuk membentuk susunan pemerintahan di daerah perlu ditetapkan melalui undang-undang tersendiri. Sebagai langkah awal dalam rangka menerapkan konstitusi itu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menganjurkan setiap wilayah membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID).
Di Surakarta, KNIDS (Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta) resmi terbentuk pada 29 Agustus 1945. Kepengurusan lembaga tersebut diambilkan dari Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) yang keanggotaannya diperluas.
PPK untuk Surakarta sendiri sudah mendahului dibentuk tanggal 18 Agustus 1945, diketuai Kangjeng Raden Mas Tumenggung Haryo Woerjaningrat, pejabat Patih Keraton Kasunanan, diperkuat anggota Mr. Soekasno, Raden Tumenggung Brojonagoro dan Raden Ngabehi Domopranoto.
Sementara dalam KNIDS, mereka berempat ditambah 9 anggota.
Masing-masing anggota tersebut adalah :
Soeprapto,
H. Moefti,
Gusti Pangeran Haryo Surjahamijaya,
Kangjeng Raden Tumenggung dr. Mangoendiningrat,
Soetopo Hadisapoetro,
IJ.Kasimo,
Moeljadi Djojomartono,
Maladi serta
Soejono.
Lembaga ini menjalankan fungsi pemerintahan setelah Kooti Jimu Kyoku Tyokan (Pemerintah Gubernur Jepang) menyerahkan kekuasaannya tanggal 30 Agustus 1945. Komite Nasional Daerah pada waktu itu, mengusulkan agar diadakan penggabungan antara Swapraja Kasunanan dan Swapraja Mangkunegaran menjadi satu Swapraja yang akan dipimpin oleh Sri Susuhunan, sedangkan jabatan wakilnya dipegang oleh Sri Mangkunegoro.
Tetapi usul tersebut mengalami kegagalan berhubung dalam masalah pimpinan tidak ada kesatuan pendapat. Untuk mengatasi kesulitan tersebut di atas, kemudian dibentuk sebuah Direktorium pada tanggal 1 Nopember 1945. Direktorium ini terdiri dari : Susuhunan, Sri Mangkunegoro, dua anggota masing-masing dari Kasunanan dan Mangkunegaran dan dua anggota lagi dari Komite Nasional Daerah.
Direktorium ini hanya berumur kurang lebih enam bulan saja, dan hingga saat dibubarkannya belum pernah mendapatkan pengesahan.
Pada waktu itu Daerah Swapraja Kasunanan meliputi : kabupaten Kota Kasunanan, kabupaten Klaten, kabupaten Boyolali, dan kabupaten Sragen.
Sedangkan Daerah Swapraja Mangkunegaran meliputi : kabupaten Kota Mangkunegaran dan kabupaten Wonogiri.
Undang-undang Pemerintahan Daerah sebagaimana diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 tak kunjung tersusun, sehingga memberi peluang bagi golongan penentang swapraja untuk tumbuh semakin besar menjadi gerakan sosial. Golongan anti swapraja atau antifeodal atau antimonarki lebih tepatnya. Gerakan ini dikelola dan dipimpin salah satunya oleh Tan Malaka.
Kekuasaan Sinuhun Paku Buwono XII yang belum genap berjalan 2 bulan pun menghadapi perlawanan dan tekanan semakin berat dari lawan-lawan politiknya. Bentrokan sulit dihindarkan, dan korban mulai berjatuhan tanpa bisa dielakkan.
Korban pertama menimpa Kangjeng Raden Mas Haryo Sosrodiningrat IV. Patih Keraton Kasunanan itu hilang diculik sekelompok orang pada 17 Oktober 1945. Untuk mengisi kekosongan, jabatan patih dipercayakan kepada Kangjeng Raden Mas Tumenggung Joedonagoro.
Gbr. Keraton Kasunanan Surakarta
Hanya sempat bertugas sekitar 5 bulan, patih pengganti ini juga diculik tanggal 15 Maret 1946 oleh pelaku-pelaku tak dikenal.
Pada garis besarnya kelompok kontra swapraja ini mengajukan 3 tuntutan :
a. Minta dihapuskannya Daerah Istimewa/Swapraja Surakarta.
b. Memaksa Sinuhun Paku Buwono XII meletakkan tahta guna digantikan pejabat lain.
c. Menuntut perubahan-perubahan dalam peraturan Daerah Istimewa/Swapraja yang tidak sesuai lagi dengan jamannya.
Kurang sebulan kemudian, tepatnya 12 April – giliran 9 pejabat kantor kepatihan menemui nasib serupa. Masing-masing adalah :
Kangjeng Raden Mas Tumenggung Haryo Poerwodiningrat,
Mr. Drs Notonagoro,
Raden Mas Ngabehi Prodjowiredjo,
Raden Mas Tumenggung Koedonowarso,
Raden Tumenggung Djogonagoro,
Raden Mas Ngabehi Prodjowiredjo,
Kangjeng Raden Tumenggungn Soeronagoro,
Kangjeng Raden Tumenggung Mr. Fjaksonagoro dan
Raden Mas Ngabehi Prodjowahjono.
Di tengah situasi yang bertambah genting tersebut, Paku Buwono XII mengangkat Kangjeng Raden Mas Haryo Woerjaningrat pada 15 April 1946 sebagai pejabat yang menjalankan tugas patih. Ia beberapa kali mencoba melakukan pendekatan kepada berbagai pihak, tetapi gagal membawa hasil. Aksi penahanan terhadap pejabat-pejabat tinggi keraton terus berlangsung.
Di antaranya, Bupati Boyolali Kangjeng Raden Tumenggung Reksonagoro beserta wakilnya Bupati Anom Raden Tumenggung Tondonagoro dan wakil Bupati Klaten Raden Tumenggung Pringgonagoro dicopot paksa.
Kedudukannya kemudian digantikan personil dari kelompok anti swapraja. Gerakan yang akhirnya mampu menguasai hampir seluruh kabupaten wilayah kasunanan tersebut menyatakan permutusan hubungan dengan keraton.
Pernyataan pelepasan diri diawali dari kabupaten Klaten pada tanggal 26 April, disusul Sragen, seterusnya kabupaten kota Surakarta pada 18 Mei dan terakhir Boyolali menyatakan lepas dari ikatan keraton tanggal 3 Juni 1946.
Aksi ini harus diakui merupakan taktik sangat strategis. Akibatnya segera terlihat, keraton bukan saja menjadi semakin disudutkan pada keadaan sangat rawan karena telah terisolasi dengan daerah bawahannya.
Lebih dari itu aliran logistik, termasuk pasokan dana yang berasal dari “civiel lisjf” atau pengganti dari hasil bekas daerah-daerah keraton yang semasa penjajahan kolonial dikontrak untuk perkebunan, ikut pula tersumbat.
Keuangan keraton yang lumpuh memaksa Sinuhun Paku Buwono XII mengajukan permintaan kepada pemerintah pusat untuk menerimakan subsidi dana atau “civiel Lisjf” tersebut langsung kepada keraton, dan tidak lagi melalui kabupaten bekas wilayah kasunanan sebagaimana yang sebelumnya berjalan.
Langkah tersebut dipandang merupakan salah satu cara untuk menghindarkan kemungkinan munculnya keresahan baru, sebab, bukan mustahil para pegawai maupun abdi dalem yang tersendat penerimaan pembayaran gajinya akan berbalik menyeberang menjadi partisan penentang swapraja.
Gbr. Gedung Javasche Bank Surakarta diresmikan 25 Nopember 1867
Pada sisi lain kepada Menteri Dalam Negeri Dr. Soedarsono, keraton mengusulkan agar Pemerintah Pusat secepatnya mengambil alih sementara pemerintahan daerah Surakarta sebagai alternatif mengurangi ketegangan.
Permintaan itu ditolak Menteri Dalam Negeri yang mempunyai strategi berbeda dalam usaha meredam gejolak di Surakarta. Pada 6 Mei 1946 ia mengeluarkan maklumat tentang rencana penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat lewat pemilihan umum. Konsep pembentukan legislatif gagal dilaksanakan karena memperoleh banyak tentangan.
Termasuk “direktorium” KNIDS sendiri ikut menolak. Alasannya, menyusun hanya satu DPRD dalam dua pemerintahan daerah istimewa Kasunanan dan Mangkunegaran mustahil dilakukan. Sementara memaksakan praktik dua DPRD, sama artinya membiarkan masyarakat Surakarta terpecah lebih parah menjadi dua bagian.
Berikutnya muncul gagasan menyelenggarakan sistem pemerintahan federasi. Ide Dr. Soedarsono ini pun akhirnya mentah setelah dikhawatirkan justru akan mengakibatkan masyarakat setempat semakin terpecah belah dan terkotakkotak.
Melihat situasi panas yang tak kunjung mereda, tanggal 22 dan 23 Mei 1946 Perdana Menteri Sutan Sjahrir menyempatkan datang ke Surakarta. Didampingi sejumlah menteri kabinetnya, antara lain Menteri Dalam Negeri Soedarsono, Menteri Keuangan Ir. Soerachman serta Menteri Penerangan Amir Syarifudin, Perdana Menteri Sutan Sjahrir merencanakan mengadakan pertemuan dengan keraton kasunanan dan Pura Mangunegaran.
Rapat di gedung Javasche Bank Surakarta – sekarang ditempati kantor cabang Bank Indonesia – nyaris batal. Sebab menjelang waktu pertemuan, Sutan Sjahrir sempat diculik oleh sebuah kelompok bersenjata, meski akhirnya dilepaskan kembali.
Dalam pertemuan tersebut, Paku Buwono XII yang didampingi Woerjaningrat, kembali mengajukan 3 butir usulannya :
a. Pembayaran “civiel lisjt” langsung kepada keraton.
b. Pengambilalihan sementara pemerintahan daerah Surakarta oleh pusat.
c. Penunjukan seorang komisaris guna ditempatkan di Surakarta.
Pada pertemuan yang juga dihadiri Penguasa Pura Mangkunegaran, Kangjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegoro VIII bersama patihnya, Kangjeng Raden Mas Tumenggung Partono Handoyonoto, Sjahrir bersedia memenuhi usulan yang pertama, sedang dua permintaan lainnya masih akan dibahas di pusat.
Perdana Menteri Sutan Sjahrir memberikan keterangan dalam senuah konferensi pers mengenai penculikan yang menimpanya. FOTO/santijehannanda.com
Di akhir rapat, peristiwa penculikan Perdana Menteri RI tersebut sempat diperbincangkan. Diperkuat dengan rangkaian kejadian sebelumnya, disimpulkan penculikan diperkirakan sebagai aksi salah sasaran.
Bukan tidak mungkin target sebenarnya adalah Tan Malaka yang waktu itu dikabarkan muncul di sekitan Tawangmangu. Setelah berhasil ditangkap di Solo tokoh Murba lenyap misterius untuk selamanya.
Seminggu kemudian, sekitar 1 Juni, pusat kembali melaksanakan salah satu usulan keraton dengan menunjuk Gubernur Jawa Timur, Suryo untuk merangkap sebagai komisaris Surakarta menggantikan R.P Soeroso yang dicopot dari jabatannya.
Belakangan, dalam sebuah perjalanan dinas menuju Solo, Gubernur Suryo mendadak lenyap tak pernah sampai ke tempat tujuannya. Selang beberapa hari baru diketahui ia meninggal dibuunuh oleh PKI di tengah hutan di wilayah Ngawi.
Sayup-sayup mulai terdengar orang-orang komunis pengikut setia Muso berencana memperkeruh konflik di Surakarta untuk membantu mematangkan situasi pemberontakannya setelah berhasil menyusun basis kekuatan di Madiun, walaupun sebenarnya gerakan gagal juga.
Keadaan yang berkembang terus memburuk memaksa campur tangan pihak militer. Komandan Divisi IV Kolonenl Sutarto melancarkan upaya stabilitas dengan cara membentuk Pemerintahan Tentara dan Rakyat.
Bahkan Pemerintah Pusat pada tanggal 6 Juni 1946 menetapkan Surakarta dalam situasi darurat. Disusul kemudian lahirnya Undang-undangan No. 6 tahun 1946 yang berisi tentang pembentukan Dewan Pertahanan Daerah yang terdiri atas 5 orang, diketuai Kol. Sutarto.
Sedang mantan Komisaris Tinggi RP. Soeroso yang pernah dicopot dari jabatannya, diangkat menjadi wakil sementara Mayor Soediro dipercaya sebagai pelaksanan harian. Setelah itu Presiden Soekarno mengeluarkan Maklumat No. 1 tertanggal 28 Juni 1946, yang berisi perintah pengambil-alihan kekuasaan sepenuhnya sampai kondisi dinilai berjalan normal kembali.
Untuk melaksanakan instruksi tersebut, tepat sehari kemudian – 29 Juni – Mayor Soediro bergerak menduduki kantor Kepatihan. Tanggal 15 Juli 1946 keluarlah PP No. 16/ SD tahun 1946. Penetapan Pemerintah yang mengatur tentang pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta ini, dimaksudkan juga sebagai pelaksanaan hasil rapat segitiga – Kasunanan, Mangkunegaran dan pemerintah pusat – di gedung Javanshce Bank lalu.
Pada kesempatan kunjungannya ke Solo bulan itu juga. Presiden Soekarno menunjuk Mr. Iskhaq Tjokrohadisurjo sebagai residen yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemerintahan daerah Surakarta.
Gbr. Pakubuwono XII membesuk Tentara yang sakit
Dengan demikian era kekuasaan keraton Kasunanan secara de facto dapat dikatakan sudah berakhir. Seterusnya pelaksanaan pemerintahan dipercayakan sepenuhnya kepada Residen Iskhaq Tjokrohadisoerjo. Selaku pejabat pemegang kekuasaan seluruh urusan pamong praja dan kepolisian, ia mulai melancarkan penertiban.
Pertama kali Dewan Pimpinan Sarikat Buruh Negeri Surakarta dibubarkan. Berikutnya para pejabat keraton yang pernah diculik dan ditahan pengikut gerakan anti swapraja dibebaskan. Menyusul setelah itu merehabilitasi kedudukan Patih Kangjeng Raden Mas Haryo Woerjaningrat.
Untuk melengkapi PP No. 16/SD.1946 sekaligus menyempurnakan jalannya pemerintahan yang berasaskan permusyawaratan dan perwakilan, pemerintah pusat pada 8 Agustus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 8.
Dalam produk perundangan baru ini, antara lain ditegaskan tentang pembentukan Badan Perwakilan Rakyat (BPR) di setiap kabupaten dan Kota Surakarta. Dengan demikian, residen selain menangani urusan rumah tangga pemerintahan juga memegang kekuasaan pemerintahan bersama BPR.
Sementara kekuasaan di kota Surakarta sepenuhnya berada di tangan walikota. Meski prinsip-prinsip kepemimpinan demokrasi sudah mulai diterapkan, ternyata belum memuaskan pendukung anti swapraja.
Sebab, kedua peraturan tersebut dianggap masih berbau mengakui Surakarta sebagai daerah istimewa, karena keraton masih berpeluang menerima kembali segala kekuasaan yang sementara sudah dilepaskan. Guna mencegah kemungkinan itu, kelompok anti swapraja menuntut pemberian status otonom bagi kota Surakarta.
Dengan pemerintahan sendiri berbentuk kotapraja yang langsung di bawah pusat, kota Surakarta menjadi terlepas dari karesidenan, sehingga akan menutup kesempatan keraton untuk mengukuhi kembali daerah istimewanya.
Tuntutan ini terkabul lewat pemberlakuan UU No. 16 tanggal 2 Juni 1947 tentang Pembentukan Kotapraja Surakarta sekalipun harus diwarnai serentetan kericuhan dan kerusuhan. Di antaranya pendongkelan atas diri Residen Iskaq Tjokrohadisoerjo pada 11 Nopember 1946. Jabatan kemudian dipercayakan kepada Soetardjo Hadikoesoemo yang kemudian digantikan oleh Soediro.
Maka sejak itu Surakarta menjadi pemerintahan yang tidak ada campur tangan Kasunanan ataupun Mangkunegaran.