Dalam kehidupan manusia, bermain sering kali diidentikkan dengan aktivitas anak-anak. Namun, seiring bertambahnya usia, kebutuhan dan kecenderungan untuk bermain tidak serta-merta menghilang. Konsep “Homo Ludens” yang dicetuskan oleh Johan Huizinga menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang bermain, dan aktivitas bermain tidak hanya terbatas pada usia anak-anak, melainkan juga menjadi bagian esensial dari budaya dan peradaban manusia secara keseluruhan.
Menariknya, meskipun kehidupan orang dewasa dipenuhi dengan tanggung jawab, pekerjaan, dan tuntutan sosial, sifat homo ludens ternyata masih hidup dan aktif, bahkan pada kalangan lanjut usia. Termasuk perilaku Kidult, yakni koleksi mainan anak-anak oleh orang dewasa.
Istilah Homo Ludens berasal dari bahasa Latin, yang berarti “manusia yang bermain.” Johan Huizinga, sejarawan dan teoretikus budaya Belanda, dalam bukunya Homo Ludens (1938), menekankan bahwa bermain adalah fondasi dari semua aktivitas budaya manusia—baik dalam hukum, seni, politik, bahkan perang. Menurut Huizinga, bermain memiliki karakteristik khusus:
Bebas dan sukarela
Terlepas dari kenyataan sehari-hari
Memiliki aturan dan batasan tersendiri
Memunculkan rasa kegembiraan dan keterlibatan
Dengan demikian, sifat homo ludens tidak memudar seiring usia, melainkan hanya berubah bentuk sesuai dengan konteks sosial dan psikologis seseorang. Meski sering tersembunyi di balik formalitas dan kesibukan hidup, sifat homo ludens tetap terlihat pada orang dewasa dan lanjut usia dalam bentuk:
Hobi yang bersifat rekreatif dan kompetitif
Bermain catur, golf, kartu, atau video game.
Mengikuti turnamen kecil antar komunitas.
Peran bermain dalam dunia kerja dan organisasi
Simulasi bisnis, gamifikasi pelatihan, atau penggunaan metode bermain untuk menyelesaikan konflik.
Ice breaking dalam rapat atau seminar.
Bercanda dan humor dalam interaksi sosial
Sifat suka membuat lelucon, menggunakan meme, atau membuat parodi.
Kreativitas dalam seni dan ekspresi
Melukis, merajut, menari, atau menulis fiksi sebagai bentuk “permainan” kreatif.
Penggunaan media sosial untuk berinteraksi secara ringan dan tidak formal
Menggunakan filter, emoji, atau membuat konten lucu.
Perilaku Mengumpulkan Mainan Tokoh Anak Kecil: Antara Nostalgia dan Identitas
Salah satu bentuk nyata dari sifat homo ludens yang tampak pada orang dewasa dan bahkan orang tua adalah kebiasaan mengoleksi mainan atau figur karakter anak-anak, seperti action figure, boneka karakter kartun, robot-robotan, atau mainan vintage. Fenomena ini tidak jarang dipandang sebelah mata sebagai sesuatu yang kekanak-kanakan. Namun sesungguhnya, perilaku ini memiliki dimensi psikologis dan kultural yang dalam:
Nostalgia dan Koneksi Emosional Banyak orang dewasa mengoleksi mainan sebagai cara untuk terhubung kembali dengan masa kecil mereka. Dalam dunia yang penuh tekanan, memegang atau melihat kembali figur dari tokoh masa kecil seperti Doraemon, Gundam, Tamiya, atau Barbie dapat membangkitkan perasaan nyaman dan aman.
Identitas dan Ekspresi Diri Koleksi mainan juga menjadi bagian dari identitas—sebuah pernyataan tentang apa yang dicintai, dihargai, dan dipercaya seseorang. Ini terlihat jelas pada para kolektor yang memamerkan rak mainan mereka dengan kebanggaan yang sama seperti memajang karya seni.
Komunitas dan Kegiatan Sosial Mengumpulkan mainan tidak hanya bersifat pribadi. Banyak komunitas dewasa dibentuk berdasarkan kecintaan terhadap karakter tertentu. Mereka saling bertukar, berdiskusi, dan mengadakan pameran. Ini menjadi ruang sosial yang menyenangkan dan bermakna.
Aktivitas Ekonomi dan Investasi Beberapa mainan edisi terbatas bahkan menjadi instrumen investasi. Misalnya, Hot Wheels klasik atau figur Marvel edisi kolektor bisa bernilai jutaan rupiah, menjadikan hobi ini sebagai aktivitas yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga potensial secara finansial.
Contoh Tokoh Terkenal
Shigeru Miyamoto – Kreator game legendaris Super Mario Bros dan The Legend of Zelda. Meskipun telah berusia lebih dari 70 tahun, ia masih aktif mengembangkan konsep permainan dan percaya bahwa bermain adalah jembatan komunikasi antar generasi.
Robin Williams – Aktor dan komedian yang hingga akhir hayatnya tetap mengandalkan sifat bermain, humor, dan imajinasi sebagai kekuatan utama dalam pekerjaannya.
Stan Lee – Pencipta karakter Marvel seperti Spider-Man dan Iron Man, yang tetap berkarya hingga usia lanjut dan sering muncul sebagai cameo di film-film Marvel dengan gaya main-main yang khas.
Richard Branson – Pendiri Virgin Group, yang dikenal dengan gaya kepemimpinan yang playful dan menyukai tantangan ekstrem sebagai bentuk “permainan.”
Hayao Miyazaki – Pendiri Studio Ghibli yang dikenal memvisualisasikan dunia imajinatif penuh makna dalam film-film animasi, bahkan di usia senjanya.
Mark Hamill, aktor pemeran Luke Skywalker dalam Star Wars, dikenal sebagai kolektor mainan dan memorabilia Star Wars.
Steve Sansweet, mantan eksekutif Lucasfilm, memiliki koleksi Star Wars terbesar di dunia dan menjadikannya museum edukatif.
Di Indonesia, Raditya Dika secara terbuka menunjukkan koleksi figur dan mainan favoritnya yang berkaitan dengan pop culture.
Agar perilaku ini tidak dianggap sia-sia atau kekanak-kanakan, ada beberapa cara untuk mengemasnya menjadi sesuatu yang bermanfaat:
Membuat konten edukatif atau hiburan di media sosial tentang koleksi.
Mengajak anak atau cucu bermain dan mengenal tokoh-tokoh dari masa lalu.
Menyumbangkan koleksi tertentu untuk museum mainan atau kegiatan sosial.
Menggunakan mainan sebagai media terapi, terutama untuk pasien dengan gangguan kognitif atau anak-anak berkebutuhan khusus.
Dampak Positif Sifat Homo Ludens pada Orang Dewasa dan Tua
1. Kesehatan Mental dan Emosional. Bermain memberikan rasa senang, mengurangi stres, kecemasan, dan depresi. Pada orang lanjut usia, bermain bisa menjadi terapi untuk mengatasi kesepian dan menjaga stabilitas emosi.
2. Kesehatan Kognitif. Kegiatan seperti bermain puzzle, catur, atau game strategi dapat meningkatkan daya ingat, konsentrasi, dan kemampuan pengambilan keputusan.
3. Sosialisasi dan Ikatan Sosial. Permainan adalah media efektif untuk membangun kedekatan sosial. Orang tua yang bermain bersama cucu, misalnya, menciptakan ikatan lintas generasi yang kuat.
4. Kreativitas dan Inovasi. Permainan melatih imajinasi dan fleksibilitas berpikir. Banyak inovasi teknologi, bisnis, hingga pendidikan lahir dari pendekatan yang bersifat “bermain.”
Dampak Negatif Jika Tidak Dikelola
Namun, sifat homo ludens juga bisa menjadi kontra-produktif jika tidak ditempatkan pada porsi yang tepat. Misalnya:
Menghindari Tanggung Jawab. Jika bermain dijadikan pelarian dari kenyataan dan kewajiban.
Kecanduan dan Pelarian Emosional. Bermain game berlebihan hingga mengabaikan hubungan sosial atau pekerjaan.
Tidak Proporsional dalam Konteks Formal. Misalnya, sikap terlalu santai dalam situasi profesional yang membutuhkan keseriusan.
Apakah Sifat Homo Ludens Perlu Dihilangkan?
Jawabannya: Tidak. Justru, bermain adalah bagian penting dari kehidupan yang tidak boleh sepenuhnya hilang. Menghilangkan sifat homo ludens berarti menghilangkan dimensi penting dari kemanusiaan itu sendiri. Yang diperlukan adalah pengelolaan dan pengemasan ulang agar sifat bermain tersebut relevan, kontekstual, dan bermanfaat. Karena pada dasarnya, bermain bukan hanya aktivitas kosong, melainkan bentuk eksplorasi, komunikasi, dan pembelajaran.
Mengemas Sifat Homo Ludens agar Bermanfaat dalam Keseharian
1. Gamifikasi dalam Pekerjaan. Menggunakan elemen permainan dalam aktivitas profesional: reward, level, misi, atau leaderboard. Ini terbukti meningkatkan motivasi dan produktivitas karyawan.
2. Playful Parenting dan Grandparenting. Orang tua dan kakek-nenek yang bermain bersama anak atau cucu mereka tidak hanya mempererat hubungan keluarga, tetapi juga memberikan stimulus perkembangan anak.
3. Permainan Edukatif. Memanfaatkan board game, trivia, atau quiz untuk memperkuat wawasan dan daya ingat, terutama untuk lansia.
4. Bermain Musik, Seni, atau Tari. Kegiatan seni memiliki unsur permainan yang kuat dan sangat bermanfaat untuk kesehatan emosional serta sosial.
5. Role-Playing dalam Pendidikan dan Terapi. Menggunakan simulasi atau drama untuk melatih empati, menyelesaikan konflik, atau terapi trauma.
6. Komunitas dan Klub Bermain. Bergabung dalam komunitas seperti klub catur, grup drama, atau kelas tari senior, memberikan ruang sosial yang sehat.
Studi Kasus: Komunitas Bermain Lansia di Jepang dan Skandinavia
Di Jepang dan Skandinavia, terdapat banyak komunitas lansia yang aktif bermain. Misalnya, di Jepang ada klub senior gamer yang memainkan Nintendo Switch bersama cucu mereka, bahkan ada yang menjadi Youtuber gamer. Di Swedia, intergenerational play centers menggabungkan taman bermain anak-anak dengan tempat berkumpul lansia. Hasilnya, ada pertukaran nilai, kebijaksanaan, dan keceriaan.
Ini membuktikan bahwa bermain bisa menjadi perekat sosial dan alat kebahagiaan lintas usia.
Sifat homo ludens bukanlah sesuatu yang kekanak-kanakan atau tidak produktif. Justru ia adalah ekspresi dari sisi manusia yang paling kreatif, adaptif, dan komunikatif. Bagi orang dewasa dan tua, sifat ini bukan hanya tetap relevan, tetapi juga penting untuk menjaga kesehatan mental, sosial, dan intelektual.
Alih-alih menghilangkan sifat bermain, kita perlu mengemas ulang cara bermain agar sesuai dengan konteks usia dan kebutuhan. Dari ruang kerja hingga rumah tangga, dari dunia seni hingga dunia terapi—semua bisa dihidupkan kembali oleh semangat bermain.
Sebagaimana Huizinga menulis:
“Play is older than culture, for culture always presupposes human society, and animals have not waited for man to teach them their playing.”
Maka, jika bermain adalah kodrat manusia, mari kita pelihara dan manfaatkan ia sebaik mungkin.
Referensi:
Huizinga, Johan. Homo Ludens: A Study of the Play Element in Culture. 1938.
Brown, Stuart. Play: How It Shapes the Brain, Opens the Imagination, and Invigorates the Soul. Penguin Books, 2010.
Sutton-Smith, Brian. The Ambiguity of Play. Harvard University Press, 1997.
Putra, Andi. “Permainan dan Lansia: Perspektif Sosial Budaya.” Jurnal Gerontologi Sosial, 2020.
Yamamoto, H. “Senior Gaming in Japan.” Journal of Aging and Digital Culture, 2022.