Pembangkit listrik kini mulai banyak beralih ke skala yang lebih kecil dan mandiri. Pengembangan alat konversi energi skala rumah tangga memungkinkan masyarakat untuk mandiri energi. Selama ini, sumber energi di dunia termasuk Indonesia dipandang selalu berasal dari pembangkit listrik dengan kapasitas besar hingga ratusan megawatt (mW). Energi tersebut kemudian ditransmisikan ke berbagai wilayah lain oleh sistem transmisi berupa kabeltegangan ekstra tinggi dan rendah hingga akhirnya sampai ke rumah-rumah penduduk.
Pembangkit listrik skala besar ini mayoritas masih menggunakan sumber energi fosil yang tidak ramah lingkungan seperti batubara. Padahal, pembangkit listrik tenaga uap (PL-TU) batubara merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi sehingga penggunaannya harus mulai segera dihentikan.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir tepatnya sejak tahun 2010-an, teknologi pembangkit listrik sudah mulai berubah ke skala ukuran dan kapasitas yang lebih kecil.Bahkan, sumber pembangkit listrik skala kecil itu banyak yang berasal dari energi bersih dan ramah lingkungan seperti angin, surya atau matahari, dan air.
Pembangkit listrik skala kecil seperti panel surya juga semakin banyak diminati masyarakat ataupun industri. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap menunjukkan peningkatan signifikan dari 1,52 mW (2018) menjadi 65,87 mW pada Juli 2022.
Kian masifnya pembangkit listrik skala kecil ini akan membuat sektor energi akan mulai fokus pada pengembangan teknologi di jaringan rendah. Hal inilah yang mendasari peneliti dari Tropical Renewable Energy Centre Fakultas Teknik Universitas Indonesia (TREC- FTUI) dalam mengembangkan alat konversi energi listrik skala rumah tangga ber-nama DCON.
Direktur TREC-FTUI Eko Adhi Setiawan menjelaskan, alat konversi energi ini dinamakan DCON karena listrik yang dihasilkan merupakan arus searah. Sementara alat konversi energi yang biasa dipakai diskala rumah tangga dihasilkan dari arus bolak-balik. ”Khusus peruntukan rumah tangga, alat semacam ini hampir belum ada yang diproduksi di pasaran. Jadi, bisa dibilang alat yang dikembangkan kami ini termasuk yang pertama menginisiasi di Indonesia, bahkan mungkin di wilayah Asia Tenggara,” ujarnya saat memberi paparan dalam bulan inovasi Universitas Indonesia beberapa waktu lalu.
Secara sederhana, DCON berfungsi untuk mengonversi sumber energi pada peralatan listrik dan elektronik rumah tangga mulai dari lampu, televisi, penanak nasi, kulkas, mesin cuci, dan lainnya. Alat ini mendapat sebuah energi dari baterai berkapasitas 19,2 kilowatt per jam (kWh). Sementara baterai tersebut mendapat energi dari panel surya.
Menurut Eko, alat konversi energi skala rumah tangga ini dikembangkan dengan dukungan hibah dari riset Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tahun kedua. Namun, riset ini juga bagian dari pengembangan yang dilakukan TREC-FTUI sejak 2017.
Peta jalan pembuatan dan pengembangan alat ini pertama kali dilakukan pada 2017-2019. Pada tahap awal, efisiensi alat mencapai 96 persen dan pengaturan (setting) standar baru pada tegangan 270 volt arus searah (VDC). Alat ini kemudian dikembangkan dari kapasitas 1 kilowatt (kW) menjadi 2,5 kW.
Setelah itu, pada 2020-2021 dilakukan pengembangan kembali untuk kapasitas 3 kW. Beberapa langkah yang dilakukan antara lain dengan pengujian untuk memastikanalattersebut memenuhi persyaratan dan standar. Dalam rentang waktu ini juga dibuat jurnal sekaligus pengajuan paten internasional dan hak cipta. Adapun rencana pada 2023 akan disertifikasi dan pengujian tingkat kesiapan teknologi (TRL) untuk mengukur tingkat kematangan alat tersebut. Pengembangan bisnis DCON baru digencarkan setelah melewati semua tahap pengujian.
Tingkat efisiensi
Tahun ini, pengembangan dilanjutkan dengan pembuatan eco-wall melalui terintegrasinya tiga sumber daya listrik dari PLTS, turbin angin, dan baterai. Kemudian dilakukan pula pembuatan sistem monitoring dan data logger eco-wall serta promosi ke pihak riset luar negeri.
Adapun tingkat efisiensi alat ini tercatat 90-95 persen. ”Angka efisiensi tersebut berarti energi yang dihasilkan, yaitu lebih dari 90 persen dari energi awal yang dimasukkan ke dalam alat ini. Hasil ini didapatkan melalui pengujian dengan alat yang memang berfungsi untuk mengukur kekuatan,” kata Eko.
Selain itu, DCON juga dibekali sistem pemantauan atau monitoring secara daring untuk mengakses besaran listrik yang digunakan sekaligus informasi tagihannya. Sistem ini juga memungkinkan untuk melihat stabilitas tegangan sehingga memudahkan dalam perawatan. Eko menyatakan, hasil pemakaian pribadi secara langsung juga menunjukkan DCON memiliki keunggulan, yakni menghantarkan arus yang lebih stabil. Stabilitas arus ini akan membuat usia peralatan elektronik rumah tangga menjadi lebih panjang. Selama ini, salah satu penyebab alat elektronik cepat rusak, yaitu ketidakstabilan arus listrik.
Keunggulan lainnya dari alat ini yaitu penggunaannya yang tidak hanya pada peralatan rumah tangga, tetapi juga kendaraan listrik. Akan tetapi, spesifikasi penggunaannya tidak untuk mobil, melainkan kendaraan skala kecil seperti skuter listrik.
”Kami telah menguji di laboratorium bahwa alat ini sangat baik untuk peralatan rumah tangga. Dengan membangun alat ini, kita bisa membuat istilah dan standar baru listrik di atas 200 sampai 300 volt DC. Selama ini, standar listrik ini belum ada di dunia,” ujar Eko.
Potensi penggunaan Eko mengatakan, alat DCON telah dibeli dan dipakai oleh berbagai pihak, salah satunya Hawaii Natural Energy Institute di Hawai, Amerika Serikat. Ia pun berharap, ke depan alat ini bisa digunakan di setiap rumah sehingga masyarakat tidak lagi bergantung pada pihak penyedia listrik negara. Hal ini sekaligus dapat mendukung kemandirian energi.
”Hasil penelitian dan pengembangan alat ini tidak hanya bermanfaat untuk masyarakat Indonesia, tetapi juga bisa dipasarkan ke negara lain. Alat DCON ini lahir karena dalam lima atau sepuluh tahun ke depan, sistem kelistrikan akan berubah menjadi sistem DC,” katanya.
Mengingat alat ini bergantung pada sumber energi, maka perlu juga meningkatkan cakupan pemasangan PLTS atap di setiap rumah. Kementerian ESDM menargetkan pada 2025 terdapat 3.610 mW listrik yang bersumber dari PLTS atap. Segmen atap rumah tangga ditargetkan berkontribusi sebesar 1.524 mW atau 42,21 persen dari total listrik yang dihasilkan PLTS atap pada 2025. Selebihnya dihasilkan oleh PLTS atap dari segmen lain, seperti industri, bisnis, sosial, dan pemerintahan (Kompas, 10/6/2022).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana sebelumnya menyatakan, pihaknya sedang mempercepat pemanfatan PLTS atap pada skala rumah tangga ataupun industri.