Kecamuk Pertempuran Inggris dan Keraton Yogyakarta 1812. Sepenggal kisah penaklukkan Yogyakarta yang mengawali cengkeraman Eropa dan kuasa tatanan kolonial di Tanah Jawa.
Sengitnya pertempuran antara Kerajaan Inggris dan Kasultanan Yogyakarta pada Jumat-Sabtu, 19 dan 20 Juni 1812, dicatat oleh seorang serdadu Inggris, Kapten William Thorn. Dia menulis perjalanan penaklukan Inggris ke Jawa dalam Memoir of The Conquest of Java yang terbit pada 1815 di London. Kelak orang Jawa menjuluki pertempuran ini dengan “Geger Spehi”—Perang Spoy.
Thorn melukiskan keadaan pertahanan Keraton Yogyakarta. “Kraton atau kediaman Sultan Mataram,” demikian tulisnya, “dikelilingi oleh parit basah nan lebar dengan jembatan jungkit; dinding benteng yang tebal dan kokoh dengan bastion [pojok benteng yang menjorok] dan diperkuat dengan seratus meriam.”
Dalam pertempuran dua hari itu Inggris berkekuatan sekitar 1.000 serdadu berseragam merah, yang terdiri atas serdadu asal sepoy India dan serdadu Eropa. Jumlah itu masih ditambah 500 prajurit Legiun Pangeran Prangwedono asal Mangkunagaran, Surakarta. Sementara, menurut Thorn, terdapat sekitar 17.000 prajurit Keraton yang bersiaga di dalam baluwarti (tembok keraton).
Tembak-menembak antara Benteng Vredeburg—sebagai kubu pertahanan Inggris—dan Keraton sebenarnya sudah dimulai sejak 18 Juni sore. Menurut Thorn, benteng ini, “hanya sedikit meninggalkan bubuk mesiu dari pabrik mesiu lawas tinggalan Belanda, sangat buruk,” ungkapnya, “sehingga tembakan kami ibarat hanya menghibur musuh.”
plengkung,keraton yogyakarta,benteng,tembok,baluwarti.
Sejatinya, Inggris masih menanti pasukan Letnan Kolonel Alexander MacLeod yang tengah berangkat dari Salatiga menuju Yogyakarta. Pasukan susulan itu baru tiba pada esoknya, dan langsung menggempur Keraton.
Pertahanan Sultan yang paling kuat dengan meriam-meriam bermulut ganda berada di kawasan Alun-alun utara. Namun, tampaknya Inggris tidak menempatkan kawasan ini sebagai serangan utama, melainkan serangan pengecoh.
Serangan utama Inggris tertuju pada sisi timur baluwarti—kini sepanjang Jalan Brigjen Katamso. Gempuran tersebut dilakukan oleh Kolonel James Watson yang membawahi Resimen Infanteri ke-14, Buckinghamshires. Mereka mendekati bastion timur laut dengan dilindung penembak-penembak Inggris.
Bastion timur laut tempat gudang mesiu prajurit Sultan berhasil diledakkan oleh serdadu sepoy di bawah komando Watson. Tampaknya ledakan penyimpanan bubuk mesiu itu sangat dahsyat. Setelah ledakan, pertahanan baluwarti mulai mengendur sehingga mereka berhasil menurunkan jembatan jungkit di gerbang utama Kadipaten.
Mungkin akibat ledakan itulah bastion timur laut itu rusak berat dan hingga hari ini pertahanan baluwarti hanya menyisakan tiga bastion—warga menjulukinya dengan Pojok Beteng Wetan, Pojok Beteng Kulon, dan Pojok Beteng Lor.
Plengkung Tarunasura/Pancasura, kini lebih dikenal dengan Wijilan, sebagai gerbang utama Kadipaten diserang oleh pasukan Letnan Kolonel Alexander MacLeod. Gerbang masih dijaga pertahanan kuat laskar Sultan. Para serdadu sepoy India itu merayapi dinding baluwarti dengan cara saling memanjat pundak temannya hingga mencapai celah baluwarti. Akhirnya, artileri tempur Inggris berhasil meledakkan gerbang itu.
prajurit,keraton yogyakartaSebuah kesatuaan prajurit pengawal Sultan Hamengkubuwana pada sekitar 1920-an, sekitar seratus tahun lebih setelah leluhur mereka bertempur dengan serdadu Inggris (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)
“Musuh menyapu tembok baluwarti dengan tembakan senapan dari bastion tenggara,” catat Thorn. Namun, “akhirnya [bastion itu] takluk diujung bayonet.” Kemudian, setelah beberapa pertempuran di sisi selatan baluwarti, serdadu Inggris berhasil membuka gerbang selatan, Plengkung Nirbaya.
Berikutnya, serdadu sepoy dan Inggris berhasil membobol pintu gerbang barat, Plengkung Jagabaya. Pertahanan baluwarti terakhir yang mampu dipertahankan laskar Sultan adalah bastion barat laut, kemudian mereka menyelamatkan diri ke sebuah masjid di luar baluwarti, demikian papar Thorn. Tampaknya yang dimaksud Thorn adalah Masjid Besar Kauman.
Mengapa pertahanan keraton lemah? Peter Brian Ramsay Carey, seorang Professor Emeritus dari Trinity College, Inggris, memaparkan suasana dari dalam baluwarti lewat salah satu sumber Jawa tentang pertempuran tersebut.
Menurutnya, sumber Babad Bedhah ing Ngayogyakarta telah mengungkapkan rendahnya daya juang para pembela keraton. Babad jatuhnya Yogyakarta itu ditulis dalam buku harian Pangeran Panular, seorang putera Sultan yang turut bertempur pada Juni 1812.
“Banyak di antara pangeran yang mestinya memberi teladan di medan tempur dengan memimpin perlawanan, hanya mencawat ekor dalam perlindungan pintu-pintu gerbang atau berpura-pura sakit,” demikian tulis Carey. Dia menulis berdasarkan pemerian babad tersebut dalam bukunya, Kuasa Ramalan yang terbit pada 2011.
Bahkan, sebagian dari mereka mencari selamat dengan cara keluar keraton menuju desa-desa di pinggiran dan makam Imogiri, demikian suasana yang dikisahkan dalam babad tersebut menurut Carey.
Babad tersebut, ungkap Carey, juga mengisahkan kerisauan hati Sultan Hamengkubuwana II, atau yang dikenal sebagai Sultan Sepuh. Para laskar perempuan yang mengawal Sultan pun turut berdzikir dan berdoa.
Perang ini diakhiri dengan menyerahnya Sultan Sepuh dan dimulainya penjarahan besar-besaran atas harta, pusaka, dan pustaka Keraton Yogyakarta. Awal Juli 1812, Sultan dibuang ke Pulau Penang.
Dalam pertempuran dua hari itu, dari seribu serdadu Inggris, sekitar seratus orang tewas. Sedangkan di pihak Sultan “tidak dapat dihitung secara tepat,” ungkap Thorn. “Namun pastinya sangat besar jika kita melihat mereka yang terbunuh dan terluka di sepanjang baluwarti dan bastion. Jumlah tewas yang luar biasa di setiap gerbang, tertutama di kawasan tengah.”
“Nama Djoejocarta [Yogyakarta] akan selalu mengingatkan kisah kegagahan serdadu Inggris,” demikian tulis Thorn, “penyerangan dan penaklukan sebuah pertahanan benteng yang kuat di bawah kecamuk perang.”
Invasi Inggris ke Jawa 1811 merupakan ekspedisi laut terbesar dalam sejarah, setidaknya hingga jelang Perang Dunia Kedua. Di bawah Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty, hampir 12.000 serdadu yang berlayar dalam 100 kapal melintasi Samudra Hindia dan mendarat di Cilincing. Atas titah Lord Minto, mereka berupaya merebut kekuasaan Prancis di Jawa.
Demikianlah, kesaksian serdadu Inggris dan prajurit Jawa tentang pertempuran yang mengantarkan Tanah Jawa ke tatanan kolonial.
Mahandis Yoanata ThamrinMahandis Yoanata Thamrin
Jurnalis | Editor National Geographic Indonesia dan National Geographic Traveler Indonesia | “For the increase and diffusion of geographic knowledge”