Generasi Z memiliki pandangan tentang kebahagiaan yang lebih beragam. Uang tetap menjadi sumber kebahagiaan utama, tetapi mereka juga mementingkan keseimbangan hidup dan kesehatan mental . Generasi Z adalah kelompok populasi yang ekspresif, kreatif, dan sangat mengejar passion atau rencana. Uang tetap dipandang penting, tetapi mereka sangat mementingkan keseimbangan hidup dan juga kesehatan mental. Namun, paparan teknologi, melemahnya ikatan sosial, dan kegagapan orangtua dalam mendidik anak di era internet rentan mengurangi kebahagiaan mereka.
Bagi Fadli Inzaghi Mustaqim (23), pekerja lepas bidang media sosial pada sebuah perusahaan di Jakarta dan mahasiswa semester 8 Universitas Prof Dr Moestopo Jakarta, uang adalah sumber kebahagiaannya. ”Saat memiliki uang, maka masalah lain, baik masalah kuliah, kerja, keluarga, hingga soal pacaran, akan terasa lebih mudah,” katanya, di Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Fadli memiliki banyak pengalaman tak menyenangkan dengan uang. Saat anak tetangga membeli makanan enak atau mainan menarik, keinginan yang sama selalu muncul di benak Fadli kecil. Ejekan teman terkait uang pun sangat membekas dalam ingatannya, mulai dari tudingan memakai sepatu” KW” alias palsu saat sekolah menengah pertama hingga cemoohan ketika mengajak teman perempuan jalan dengan bajaj, bukan dengan mobil atau taksi seperti umumnya teman SMA-nya. Anak pertama dari dua bersaudara ini juga harus banting tulang demi membiayai hidup dan kuliahnya.
Sembari menunggu kuliah yang sempat tertunda, dia pernah menjadi tukang ojek daring selama beberapa bulan. Sejak kuliah di semester 2, dia sudah menjadi barista sambil meneruskan membuat konten di media sosial, dengan harapan akan selalu ada perusahaan yang mengajaknya bekerja sama.
Namun, hasil kerja kerasnya itu belum cukup untuk membayar biaya kuliahnya tiap semester. Untung ada kakek dan neneknya yang sering membantunya. Beban keuangan itu semakin berat saat ayahnya meninggal setahun lalu. Beruntung, makin banyak perusahaan mencari pekerja lepas untuk mengelola media sosial mereka. Meski berstatus kontrak, pekerjaan itu memberinya penghasilan yang lumayan.
Walau dengan memiliki uang Fadli bisa membeli barang atau makanan yang dia maui, baginya, kebahagiaan tertinggi adalah jika bisa membantu orang lain dengan uang yang dia miliki, seperti yang dia lakukan selama ini. ”Walau uang membuat bahagia, tetapi itu bukan untuk ber-foya-foya,” katanya.
****
Pandangan berbeda tentang kebahagiaan dimiliki Maria Caritas (23), karyawati sebuah perusahaan manufaktur di Singosari, Malang, Jawa Timur. Sejak didiagnosis mengalami bipolar dua minggu lalu, saat ini bahagia menjadi sesuatu yang jauh dan lebih sulit dicapai. Karena itu, Maria kini memandang, ”Bahagia adalah saat kita bisa berdamai dengan diri sendiri dan menerima keadaan.”
Gejala bipolar sudah dialaminya sejak empat tahun lalu. Namun, dia tak menyangka energinya yang besar saat bekerja selama dua tahun terakhir, dedikasi dan totalitas yang membuatnya mampu melampaui target kerja yang diberikan, ternyata adalah gejala bipolar. Meski terlihat sangat bersemangat bekerja dan bisa mengerjakan banyak hal, nyatanya saat fase mania itu dia merasa sulit fokus, menentukan prioritas, hingga menyelesaikan pekerjaan yang dia maui.
Sebaliknya, saat stres melanda dan fase depresi datang, dunia terasa gelap. Ia merasa jatuh ke titik terendah, semua terlihat jelek, suram, dan tiada harapan. Dirinya merasa murung, cemberut, lemah, serta tidak memiliki daya. Untuk meluapkan semua beban yang dirasakannya, ia bisa menangis tersedu-sedu di pojokan pabrik tanpa ada rekan kerja yang mengetahuinya.
Stres itu bisa dipicu banyak hal, mulai dari beban pekerjaan, kabar kematian teman atau keluarga, berita kekerasan, hingga informasi soal kenaikan suhu global. Sebagai pencinta lingkungan, isu perubahan iklim benar-benar bisa membuatnya stres, cemas, menghilangkan harapan di masa depan, hingga membuatnya tak ingin membentuk keluarga.
Saat fase ”gelap” itu datang, ibunyalah yang menjadi penerang. ”Mama selalu menemani, terus mengajak ngobrol walau aku tidak menanggapi. Mama mengerti apa yang sedang aku hadapi,” ucapnya. Sejak Maria berumur 8 tahun, ibunya yang menjadi orangtua tunggal gigih membesarkan dan mendampingi anak-anaknya.
Selain ibu, rekan kerjanya pun suportif. Karena harus minum obat dengan jadwal tetap, teman-temannya cenderung menghindari bertemu Maria pada saat jam minum obat. Bahkan, target kerja pun bisa dinegosiasikan. Selain itu, bertemu rekan profesional sefrekuensi, jalan-jalan, hingga menonton film atau membaca buku bisa menjadi cara untuk bangkit dari depresi.
*****
Sementara itu, bagi Mato (23), pemuda asal Surabaya, Jawa Timur, dan sedang kuliah di semester 8 pada sebuah perguruan tinggi di Madura, kebahagiaan adalah saat dia mampu membahagiakan anaknya yang berumur 2,5 tahun. ”Saat melihat anak bahagia, rasanya akan lebih bahagia lagi. Semua rasa capai setelah bekerja dan kuliah rasanya hilang saat melihat anak senang,” katanya.
Mato menikah pada umur 20 tahun atas pilihannya sendiri karena khawatir terjebak zina. Terlebih, orangtua dan mertuanya juga menyetujui. Keputusan menikah muda itu juga diambil karena dia sudah merasa puas menghabiskan masa remajanya bersama teman-temannya, termasuk melakukan hal-hal yang berisiko. Soal menghidupi keluarga, dia yakin bisa melakukannya dengan bekerja apa pun. Sejak di bangku sekolah menengah kejuruan, ia sudah mencoba sejumlah pekerjaan, mulai dari menjadi pelayan rumah makan hingga menjadi tukang ojek daring.
Namun, untuk membayar biaya kuliah dan terkadang membeli susu buat anaknya, dia masih dibantu oleh orangtuanya yang bekerja sebagai petugas keamanan perumahan. ”Cita-cita saya tak muluk-muluk, asal bisa membahagiakan anak dan istri, itu sudah cukup,” ujarnya. Ke depan, dia berharap bisa meneruskan usaha warung makan mertuanya atau mendirikan usaha rumah makan sendiri. Kalaupun ada hasil yang berlebih, ia ingin menabungkan uang tersebut untuk bekal hari tua atau mengembangkan usaha daripada untuk pelesir seperti yang dilakukan anak muda seusianya.
Bergeser
Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, generasi Z atau yang dalam periodisasi sejarah Indonesia disebut sebagai generasi Phi cenderung memandang kebahagiaan sebagai kebebasan diri dalam berekspresi dan berkreativitas. Akibatnya, mereka cenderung mengejar passion atau hasrat, termasuk dalam memilih pekerjaan dengan tetap memperhatikan keseimbangan hidup atau gaya hidup sehat.
Kondisi itu berbeda dengan kebahagiaan ala generasi X alias generasi Omega yang cenderung menganggap kebahagiaan sebagai pencapaian dalam perebutan posisi ekonomi tertentu. Akibatnya, generasi ini cenderung bekerja habis-habisan demi mencapai kebahagiaan itu.
Pendiri Youth Laboratory Indonesia yang juga penulis buku Generasi Phi, Memahami Milenial Pengubah Indonesia (2017), Muhammad Faisal, mengatakan, pada dasarnya ada tiga hal yang bisa memicu kebahagiaan, yaitu spiritualitas, resiliensi atau ketangguhan secara ekonomi, dan masyarakat kolektif.
Spiritualitas adalah penopang yang baik saat anak muda hidup di lingkungan sosial yang tidak ramah, menekan, serta menghadapi kegagalan hidup. Generasi Z memahami spiritualitas bukan sekadar ritualitas, melainkan bagaimana mereka bisa menemukan jati diri, membuktikan klaim kebenaran yang dibawa melalui pesan-pesan agama, hingga merasakan langsung pengalaman spiritual.
Sementara itu, ketangguhan secara ekonomi dibutuhkan agar anak muda mampu bertahan dan bangkit dari tekanan ekonomi yang dihadapi.
Pandangan sebagian anak muda yang menjadikan uang sebagai sumber kebahagiaan tidaklah salah. Namun, sikap itu membuat mereka lebih rentan saat mengalami kegagalan atau kehilangan peluang ekonomi akibat tidak adanya bantalan yang bisa mereka pegang atau gunakan selain dengan materi. Terlebih, kepemilikan atas sumber daya ekonomi, pendidikan, dan akses kesehatan yang baik nyatanya tak selalu menjamin kebahagiaan.
Pencapaian ekonomi sebagai simbol kebahagiaan lebih mudah ditemukan pada anak muda di Jakarta dibandingkan di luar Jakarta, khususnya pada kelompok menengah atas. Anak muda Jakarta lebih mudah terpengaruh nilai global atau Barat, sedangkan yang di luar Jakarta cenderung lebih ingin mencapai keseimbangan hidup, menjaga keluarga, hingga menciptakan harmoni dengan komunitas.
Secara sosial, keberadaan masyarakat kolektif yang saling mendukung juga bisa mendorong kebahagiaan. Karena itu, berbagai nilai kearifan masyarakat, seperti gotong royong, saling berbagi, empati, atau saling asah asih asuh di antara sesama warga, perlu terus dijaga dan dilestarikan.
Namun, nilai kearifan lokal itu makin sulit ditemukan di Jakarta. Selain itu, keluarga inti di Jakarta cenderung tidak berlaku sebagai sebuah unit akibat terbatasnya interaksi di antara anggotanya. Keluarga memiliki andil besar dalam menciptakan generasi Z yang bahagia. Keluarga harus mampu mendidik anak agar mampu berpikir kritis, bisa mengolah informasi, hingga memilih pertemanan yang baik, yang bisa membantunya mencapai tujuan hidup.
Selain itu, karena interaksi anak muda saat ini lebih banyak di dunia maya, penting mengajari anak tentang empati hingga mampu mengendalikan diri saat marah dan bisa merasakan penderitaan orang lain. Karena hidup di dunia nyata, sejatinya, tidak seindah gambaran hidup selebgram atau sebebas dalam pertarungan gim video.
Sang Senior
Warga senior berusia di atas 60 tahun meyakini kunci hidup bahagia terletak pada perasaan bersyukur dan pasrah. Prinsip hidup ini membantu warga senior melewati tantangan dan badai kehidupan.
Riset Cassie Mogilner dan kolega yang diterbitkan di Social Psychological and Personality Science 2011 menunjukkan, ada perubahan makna kebahagiaan antar generasi. Apabila generasi muda mengasosiasikan kebahagiaan dengan kegembiraan, maka generasi senior memandang kebahagiaan sebagai sesuatu yang erat kaitannya dengan kedamaian.
” Karena orang tua memiliki masa depan yang lebih terbatas, pengalaman kebahagiaan mereka mungkin lebih terfokus pada saat ini dan dengan demikian lebih erat terkait dengan perasaan damai,” tulis Mogilner dalam risetnya. Makna kebahagiaan yang berbeda ini kemungkinan besar memengaruhi pilihan yang dibuat seseorang dalam kehidupan sehari-hari mereka, seperti jenis aktivitas yang mereka pilih. Apabila seseorang yang berusia 22 tahun merasa bahagia dengan membuat pesta ulang tahun meriah, maka generasi lebih tua memandang bahagia muncul saat bisa merayakan ulang tahun dengan makan malam intim dan sederhana dengan orang terkasih.
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mencatat, ada 30,16 juta jiwa penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia pada 2021. Penduduk lansia adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Kelompok ini porsinya 11,01 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 273,88 juta jiwa. Proyeksi penduduk lansia di Indonesia akan terus bertumbuh, menjadi 48,2 juta orang pada 2035 dan 63,3 juta orang pada 2045. |
Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 1 di antara 6 orang berusia di atas 60 tahun pada 2030. Pada tahun ini, jumlah warga senior di atas 60 tahun akan bertambah dari 1 miliar orang pada 2020 menjadi 1,4 miliar orang. Pada 2050, sebanyak 80 persen warga senior hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Salah satu warga senior, Nunuk Sri Daryati (70), memandang kebahagiaan sebagai rasa tercukupi yang muncul dari hati yang penuh syukur. Ia mencontohkan merasa bahagia dari hal-hal sederhana, seperti merawat tanaman atau mempelajari keterampilan bahasa.
Ia juga merasa bahagia dan haru ketika mendapatkan kejutan ulang tahun dari anaknya. ”Wah, itu rasanya bahagia dan haru.Aku merasa, oh, berarti saat aku sedang tidur, anakku menyiapkan ini semua,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Rabu (15/3/2023). Ia juga merasa bahagia saat melihat anaknya wisuda di Inggris. Rasa bahagia itu bercampur dengan haru dan bangga. Nunuk merupakan warga senior yang telah melewati suka duka kehidupan. Ia pernah mengalami masa paling sulit dalam hidupnya, yaitu ketika harus bercerai dengan suami pada usia 30 tahun.
”Tahun pertama saya berpisah adalah yang paling sulit. Saya harus bekerja untuk membiayai kebutuhan anak-anak. Di samping itu, saya masih kuliah,” katanya. Ketika itu, Nunuk kelimpungan karena harus membagi waktu antara bekerja, kuliah, dan mengasuh dua anak. Selain itu, ada perasaan tersisihkan dan tidak percaya diri karena menjalani hidup sebagai ibu tunggal untuk kedua anaknya. Seiring dengan waktu, kehidupannya membaik. Ia juga mendapat pekerjaan yang lebih baik. Pemasukannya semakin tinggi.
Mantan direktur keuangan di perusahaan minyak dan gas ini kemudian bisa membayar pengasuh untuk anak-anaknya. Meski kehidupan finansial terpenuhi, bekerja di perusahaan dengan jabatan yang cukup tinggi membuat Nunuk tak punya waktu untuk mengurus rumah. Setiap hari ia bekerja hingga larut malam. Begitu pensiun pada 2011, Nunuk merasa sangat senang. Ia tidak mengalami postpower syndrome karena sudah tidak lagi menjabat. Sebaliknya, Nunuk justru menyambut pensiun dengan perasaan bahagia.
Setelah pensiun, Nunuk mengisi waktu dengan bersenang-senang. Ia pergi ngopi dengan teman-temannya, wisata kuliner, dan traveling. Ia juga mendedikasikan hidupnya untuk melakukan kegiatan yang tidak sempatia kerjakan semasa muda, yaitu mengurus rumah.
Ketika uangnya menipis, Nunuk mengurangi kegiatan yang menghabiskan biaya besar. Ia mengisi hari-hari dengan merawat tanaman, latihan paduan suara, belajar bahasa Arab, dan membaca Al Quran. ”Sekarang kalau lihat hijau-hijau di depan rumah rasanya senang. Aku berpikir, kok, dulu rumahku kering, ya?” ucapnya.
Nunuk tak pernah menyesali apa yang terjadi pada masa mudanya. Perpisahan dengan suami juga bukan lagi hal yang mengganggu hidupnya. Ia sudah lama menutup cerita itu dan melanjutkan perjalanan. Ia yakin bahwa semua yang terjadi di masa lalu mengantarkannya menjadi seperti saat ini. ”Semua adalah cerita yang harus aku jalani,” ujarnya.
Menurut Nunuk, kunci bahagia terletak pada hati yang selalu bersyukur, pasrah, dan tidak ngoyo. Ketika ada hal-hal yang terjadi tidak sesuai ekspektasi, ia tidak terlalu kecewa. ”Kalau memang tidak bisa, ya, sudah. Santai saja. Kita terima saja, nanti lain kali mungkin bisa,” ujarnya.
Perasaan selalu bersyukur dan pasrah itu membuatnya mampu melewati badai kehidupan di masa muda. Prinsip yang sama juga diterapkan di masa kini saat ia sudah tak lagi muda.
****
Kegiatan Sri Bugo Suratmo (73) juga tidak mengalami post-power syndrome setelah pensiun di usia 66 tahun. Ia mengisi hari dengan aneka kegiatan agar tetap sehat lahir batin. ”Kena post-power syndrome atau tidak itu tergantung kita. Kalau saya, lakukan saja kegiatan yang saya senangi. Kalau tidak, percuma. Buat apa berkegiatan yang tak membuat hati senang,” tutur Bugo, Kamis (16/3), di Petukangan Selatan, Jakarta Selatan. Salah satu mantan pemimpin di sebuah perusahaan swasta itu mengatakan, dirinya tidak kena post-power syndrome karena punya persiapan matang menghadapi pensiun. Tercatat ia dua kali mengalami pensiun
Pertama, ia mengajukan pensiun dari perusahaan tempat ia bekerja ketika usianya beranjak 55 tahun. Setelah itu, ia bekerja lagi di perusahaan lain. Saat pensiun dari satu perusahaan, Bugo sudah bersiap untuk bekerja di perusahaan lain. Setelah 12 tahun bekerja di sana, ia baru benar-benar pensiun. Ia juga mengisi hari-hari dengan mengajar tentang public relations di sebuah perguruan tinggi swasta dan membuat bisnis hotel di Yogyakarta bersama istrinya, Ina Trefina, serta bisnis lain yang sekarang diurus keponakannya.
Saat ini, setelah benar-benar pensiun, ia mengisi hari dengan kegiatan reparasi barang yang rusak. ”Kalau tidak bisa, baru panggil tukang,” katanya.Saat tukang bekerja, ia sekaligus belajar dari si tukang. Waktu yang lain ia gunakan untuk aktif di organisasi asosiasi perusahaan makanan dan minuman serta asosiasi lain. Ia juga menjadi pengurus Lembaga Pembinaan dan Pengaderan Sinode Gereja Kristen Jawa Tengah, yang membangun rumah kos murah bagi mahasiswa dan dosen yang tugas belajar di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Ia bahkan memberikan kamar gratis untuk mereka yang bertugas terkait urusan gereja.
Jika di rumah, ia sering berkaraoke dan bermain kibor. Setiap akhir pekan, ia berlatih menyanyi bersama grup vokal warga Gereja Kristen Jawi Wetan Jakarta. Untuk menjaga kebugaran tubuhnya, meski kedua tempurung di dengkulnya sudah diganti, Bugo rajin berolahraga. Selain bersepeda statis di rumah, Bugo dan istrinya hampir setiap pagi berjalan menggunakan tongkat nordik keliling kompleks perumahannya bersama warga senior lain. Kerap kali, seusai jalan nordik, para warga senior berkumpul untuk membuat jus dan makan kue sambil minum kopi buatan Bugo. Kadang-kadang, ia ikut berjalan-jalan ke kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta, dan lainnya untuk penyegaran.
Selama ini, ia tak punya keluhan kesehatan yang berarti. ”Kalau di rumah ’satpam’-nya galak. Bisa kena semprit jika melanggar aturan makan, he-he-he. Yang juga penting, selain pantang makanan tertentu yang membuat gula darah dan asam urat naik, saya jaga hati agar tak marah dan kecewa,” tuturnya. ”Satpam” yang ia maksud adalah istrinya. Pola hidup berkegiatan rutin dan seimbang untuk kesenangan dan beramal itu membuat Bugo melewati masa pensiun dengan sehat dan bahagia. Yang Senior, Yang Bahagia
Kunci bahagia terletak pada hati yang selalu bersyukur, pasrah, dan tidak ngoyo. Ketika ada hal-hal yang terjadi tidak sesuai ekspektasi, tidak perlu terlalu kecewa. Kalau memang tidak bisa, ya, sudah. Santai saja. Kita terima saja, nanti lain kali mungkin bisa. |
M Zaid Wahyudi/ Denty Piawai Nastitie/Soelastri Soekirno /Kompas