Perusahaan rintisan teknologi (start up) saat ini sedang diterpa turbulensi yang bisa mengancam keberlanjutan usahanya. Sebagai akibatnya, kemudian muncul dua fenomena yang terjadi hampir bersamaan waktunya walau berbeda kedalaman dampaknya.
Pertama, berupa turunnya dengan drastis nilai pasar (market capitalization) banyak start up di seluruh dunia sehingga menyerupai tren global. Kedua, mulai terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) walau masih terbatas di beberapa start up tertentu saja.
Dari sini kemudian menjadi penting untuk melihat seperti apa akhir cerita perusahaan rintisan ini, setelah badai ini berlalu. Juga, seberapa jauh dampak buruk yang harus dihadapi oleh investor dan karyawan perusahaan rintisan teknologi.
Ditinjau dari sisi semantik, start up sebetulnya tidak lebih dari perusahaan atau entitas usaha yang baru didirikan. Namun, dalam pengertian umum di dunia bisnis dan teknologi, start up didefinisikan hanya untuk perusahaan rintisan berbasis teknologi, yang berbeda dari perusahaan biasa lain diliha dari empat hal yang merupakan karakteristik dasar start up.
Keempat karakteristik itu adalah
Pertama, dalam hal adopsi teknologi yang intensif dalam proses bisnisnya.
Kedua, dalam hal kepeloporan (pioneering) produk.
Ketiga, dalam hal trajektori (lintasan) potensi pertumbuhan.
Keempat, dalam hal tahapan pembiayaan eksternal yang lebih awal (premature).
Membangun gelembung Dari sisi produk, start up sedari awal dengan difasilitasi oleh teknologi memang didirikan untuk menghasilkan produk dan jasa yang belum pernah ada sebelumnya sehingga bisa memicu perubahan mendasar (disruption) pada tatanan bisnis yang telah ada.
Oleh karena itu, kemudian bisa dimengerti, dengan produk baru yang belum pernah ada sebelumnya itu, start up memiliki potensi trajektori pertumbuhan yang tak hanya linier, tetapi juga dapat dengan mudah mencapai level eksponensial.
Dengan demikian, konsekuensi logisnya adalah dengan potensi pertumbuhannya yang eksplosif tersebut sebagai daya tarik, start up dapat menarik minat investor untuk masukdan menyediakan pembiayaan yang diperlukan pada tahap lebih awal, dimulai dari tahap pendanaan awal (seed financing) sampai ke pendanaan lanjutan (multiple funding) setelahnya.
Selanjutnya, setelah mengenali karakteristik start up, hal penting lain yang perlu dipahami adalah bagaimana metodologi yang dipakai dalam proses valuasi start up itu sendiri. Dalam praktiknya, valuasi start up dilakukan dengan menggunakan metrik atau ukuran yang sama sekali berbeda dengan yang digunakan perusahaan biasa, di mana metrik yang umum digunakan adalah apa yang disebut sebagai traction yang menunjukkan progress development sekaligus momentum di mana start-up berada saat itu dalam fase tumbuh kembangnya.
Di dalam prosesnya valuasi start up yang umumnya dilakukan menjelang masuknya investor baru pada tahap putaran pendanaan terkini tersebut dilakukan bersama oleh pendiri (founder) dan investor, di mana keduanya memiliki kepentingan yang sama untuk meningkatkan nilai valuasi.
Dengan demikian, sedari awal start up seakan memang didesain untuk mendorong munculnya bubble (gelembung), yaitu peningkatan nilai aset yang jauh melebihi nilai intrinsiknya. Dan pada akhir-nya ini akan membuat investor publik harus membayar jauh lebih mahal untuk saham start up saat penawaran saham perdana (IPO) dibandingkan dengan harga yang harus dibayar pendiri dan investor terdahulu.
Ini, misalnya, terlihat ketika pemegang saham Bukalapak dan GOTO masing-masing harus membayar 17 kali nilai nominal saham untuk Bukalapak dan lebih dari 300 kali nilai nominal saham untuk GOTO.
Meski demikian, walaupun start up kemudian masuk ke bursa dengan harga saham yang relatif mahal, dalam perjalanannya saham-saham sektor teknologi ini secara konsisten dapat memberikan keuntungan luar biasa (outstanding return) dibandingkan saham sektor industri lainnya. Ini, misalnya, bisa dilihat di bursa saham AS, di mana selama periode 15 tahun (2007-2021), saham indeks S & P 500 sektor teknologi selalu menghasilkan return yang unggul (outperform), berkisar 0,7 sampai tiga kali dibandingkan saham indeks S & P 500.
Dibandingkan dengan sektor lain pun, superioritas saham sektor teknologi dengan rata-rata keuntungan (average return) 16,88 persen jelas terlihat. Misalnya, dibandingkan dengan saham sektor konsumer yang non-cyclical (10,67 persen) maupun saham sektor utilitas yang reliable & stable (8,5 persen). Pada gilirannya kemudian keuntungan tinggi yang dihasilkan saham-saham sektor teknologi ini pun terus mendorong naik, baik harga saham maupun valuasi start up, yang bahkan masih jauh dari proses IPO.
Faktor pemicu Jika dilihat sedikit lebih ke belakang, faktor utama (driver) yang mendorong terjadinya ini adalah sentimen positif yang konsisten terhadap sektor teknologi, dimulai dari pendiri dan investor perdana, dan kemudian diikuti oleh investor lain, termasuk investor ritel. Dan fenomena sentimen positif yang berujung pada rich valuation terhadap sektor teknologi ini ternyata merupakan hal yang terpisah dan tidak berhubungan dengan ketersediaan likuiditas di pasar.
Hal ini terlihat bahkan pada saat suku bunga acuan bank sentral AS (Fed fund rate) mulai meningkat pada 2017 menjadi 0,65 persen—dari sebelumnya rata-rata 0,15 persen sejak 2009 sampai 2016—return dari saham-saham sektor teknologi ini bahkan tetap terjaga pada level yang tinggi, antara 34 dan 50 persen.
Selanjutnya, jika dilihat dari sisi start up secara individual, bisa jadi lingkungan atau situasi yang mendorong rich valuation selama ini seperti gelombang yang bergulung ke atas, mengangkat semua perahu yang ada di lautan ke level yang lebih tinggi dari seharusnya. Oleh karena itu, banyak perusahaan di sektor teknologi yang menjadi bernilai lebih tinggi daripada nilai intrinsik-nya sehingga start up yang masih jauh dari tahap monetisasi atau bahkan masih sangat samar peluang tumbuh dan menguntungkan (road to profitable)-nya pun memiliki valuasi tinggi.
Dengan demikian, ketika kemudian sentimen positif yang telah terbangun lama sebelumnya ini perlahan tapi pasti mulai tergerus karena faktor-faktor makro seperti potensi kenaikan tingkat suku bunga di seluruh dunia, ancaman resesi global yang makin nyata, kelelahan mental (mental fatigue) akibat pandemi Covid-19 yang berkelanjutan, ketegangan geopolitik yang meluas yang kemudian berkelindan dengan faktor-faktor mikro lainnya maka valuasi perusahaan di sektor tek nologi ini pun mulai berjatuhan satu per satu.
Seperti perahu di lautan yang tersapu tsunami, dan pada gilirannya penurunan sentimen positif itu pun langsung memunculkan tekanan yang sangat kuat terhadap valuasi start up. Akibatnya, valuasi yang oleh banyak kalangan sudah dianggap terlalu mahal sejak 2011 ketika beberapa start up dengan valuasi di atas 1 miliar dollar AS mulai disebut sebagai unicorn—itu pun mulai kehilangan resistantfactor atau daya dukungnya.
Maka, sebagai akibatnya, seperti dikutip media massa, dari 71 start up yang melakukan IPO di AS pada periode 2019-2021, sebanyak 56 atau 79 persen harga sahamnya saat ini ada di bawah harga IPO. Sementara tujuh perusahaan teknologiter besar di dunia, yakni Apple, Microsoft, Tesla, Amazon, Alphabet, Nvidia, Meta, kehilangan kapitalisasi pasar hingga 1 triliun dollar AS dalam tiga hari perdagangan pada awal Mei 2022.
Segera setelah penurunan drastis valuasi itu, tekanan berikutnya yang terjadi pada para start up ini adalah tertahannya atau mulai melambatnya aliran dana masuk investor ke dalam start up melalui pendanaan lanjutan (funding round) yang telah terjadwal sebelumnya.
Efek berantainya pun segera muncul ketika 832 start up di seluruh dunia melakukan PHK terhadap 137.584 pegawai sejak Maret 2020 (layoffs.fyi tracker, 23/6/2022). Di dalam negeri, lima start up lokal dari berbagai bidang, JD.ID, Zenius, Fabelio, Tanihub, dan LinkAja, juga melakukan PHK sepanjang 2022.
Lima start up dari berbagai bidang di Bay Area, California, AS, yaitu Coinbase, Sonder, Stch Fix, Carbon Health, dan Net-flix, juga melakukan PHK di sepanjang 2022, ditambah lima perusahaan teknologi lain, yaitu Meta, Twitter, Intel, Lyft, dan Uber juga melakukan hiring freeze atau menghentikan proses perekrutan karyawan baru.
Perubahan besar Pada akhirnya, penurunan drastis valuasi start up yang disertai dengan gelombang PHK massal di banyak start up di seluruh dunia ini diprediksi akan mendorong terjadinya perubahan besar di dalam semesta start up yang akan ditandai dengan hal-hal berikut.
Pertama, akan ada banyak start up yang kehabisan sumber daya untuk menjaga keberlangsungannya seiring dengan melambatnya aliran dana dari investor. Start up dengan kegiatan bakar uang (burn rate) yang tinggi dan masih jauh road to profitable-nya, akan menjadi barisan pertama yang terpaksa harus berhenti beroperasi.
Akan terjadi seleksi alam sangat ketat di setiap jenis start up yang telah teruji usability-nya selama ini, seperti fintech, e-commerce, on-demand service, edutech, healthtech, agritech, dan logistic. Setelahnya yang tersisa adalah start up champion yang efisien dengan burn rate yang bisa diterima dan road to profitable yang sangat jelas dan terukur sehingga bisa meyakinkan investor untuk menyalurkan pendanaan lanjutan yang diperlukan.
Yang kedua, bahwa kemunculan start up kampiun (champion) seperti disebut sebelumnya ini akan disertai dengan revaluasi yang akan mendorong valuasi start up menjadi jauh lebih rendah nilainya daripada valuasi sebelumnya sehingga secara langsung akan menghapuskan (write-off) investasi investor di dalam dengan nilai yang signifikan. Investor publik akan terpukul lebih berat dan lebih dulu dibandingkan investor institusi dan pendiri.
Start up akan memiliki valuasi yang sesuai dengan nilai intrinsiknya, sementara investor akan kehilangan nilai investasinya di dalam start up dan akan berlaku across the board —tidak hanya start up yang baru saja masuk bursa, tetapi juga start up yang sudah lebih matang bisnis modelnya.
Investor akan menjadi sangat selektif dalam menyalurkan pembiayaan kembali sehingga akan berlaku seperti value investor dan start up kemudian akan harus sangat disiplin dalam hal penganggaran dan time table sehingga dapat mengefisienkan burn rate. Artinya, turbulensi yang saat ini sedang menerpa start up akan membuatnya seperti terempas dengan keras ke titik awal (ground zero), tetapi membuat start up yang bertahan memiliki modal sangat kuat untuk bangkit kembali lebih kuat dan lebih bak
Iwan Soemekto – Peneliti Teknologi dan Komunikasi Sosial; Konsultan Bisnis dan Finansial (Kompas, 07.07.2022)