Apa yang terlintas dibenak Anda ketika mendengar kata kampus? Mungkin ada yang bilang universitas, ada yang bilang tempat kuliah, bisa juga gedung, atau mahasiswa dan mungkin masih banyak lagi persepsi masing-masing orang. Faktanya istilah kampus berasal dari bahasa Latin yaitu campus atau yang artinya lapangan luas/kompleks, dan tentunya dapat diasosiasikan dengan kumpulan gedung-gedung tempat mahasiswa belajar.
Ketika ada pertanyaan dari sesama mahasiswa misalnya, “Lu mau ke kampus nggak nanti siang?” “Nggak ah males kuliah, dosennya nggak asyik! (ora joss) “
Berdasarkan percakapan singkat tadi, bisa digambarkan bahwa untuk berkuliah dan belajar perlu adanya proses perjalanan menuju kampus. Mari kita berbicara kondisi saat ini; proses belajar atau berkuliah tidak perlu melakukan perjalanan menuju kampus. Karena proses pembelajaran di tingkat perguruan tinggi saat ini sudah dilakukan di dalam jaringan (daring/online). Mau kuliah tinggal buka laptop atau gawai, duduk manis dan menerima perkuliahan dari dosen secara jarak jauh.
Perbedaan yang cukup signifikan dari proses belajar mengajar, yang dampaknya adalah efisiensi biaya dan waktu, sementara esensi pendidikannya yaitu penyampaian pengetahuan dari pengajar ke mahasiswa masih bisa dilakukan meski tidak bertemu secara langsung.
First Principle Thinking
Ada salah satu konsep berpikir yang dicetuskan oleh filsuf ternama Aristoteles yaitu first principle thinking, berpikir sampai hal yang paling mendasar hingga tidak bisa direduksi kembali.
Belakangan first principle thinking banyak diadopsi oleh para inovator dunia seperti Elon Musk yang mampu membuat mobil listrik dengan penggunaan baterai berbiaya rendah, ada juga Airbnb yang berpikir bahwa untuk memberikan kenyamanan menginap tidak perlu mempunyai gedung-gedung hotel yang mewah, ataupun Gojek yang berprinsip dasar dalam transportasi yaitu memindahkan orang dan tidak perlu memiliki banyak motor atau mobil yang berbiaya tinggi tentunya.
Itulah first principle thinking yang terjadi di berbagai industri saat ini. Lantas jika prinsip dasar pendidikan adalah menyampaikan pengetahuan, keterampilan dan karakter, apakah keberadaan gedung-gedung mewah, dosen-dosen profesional yang tentunya berbiaya tinggi masih diperlukan? Hal ini bisa kita renungkan bersama tentunya.
Tingginya Biaya Kuliah
Pasca pandemi, dunia pendidikan mengalami perubahan yang begitu cepat dan sangat terakselerasi oleh teknologi. Sebagai seorang pengajar sempat terbesit di benak saya, masih perlukah gedung-gedung besar menghiasi kompleks perguruan tinggi di masa depan, ketika pembelajaran saat ini saja sudah bisa dilakukan secara virtual tanpa memerlukan gedung ataupun ruangan kelas?
Penyelenggaraan pendidikan tinggi secara konvensional tentunya memerlukan biaya yang tidak kecil. Mulai dari biaya pemeliharaan gedung dan kelas, listrik di banyak ruangan, petugas kebersihan, dan juga administrasi, serta pastinya gaji para dosen sebagai pendidik profesional. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan biaya pendidikan akan meningkat dari tahun ke tahun dengan asumsi kenaikan inflasi sekitar 10-20%.
Di lain pihak pendidikan adalah hak semua orang di negeri ini, sesuai dengan yang diatur oleh Pasal 31 UUD 1945 dan UU No.20 Tahun 2003.
Disrupsi di Bidang Pendidikan
Berbicara tentang pendidikan secara online mungkin banyak pihak yang sudah tahu dengan ruangguru. Perusahaan start-up Indonesia ini menjadi salah satu pionir di bidang pendidikan; sudah mendisrupsi bidang bimbingan belajar atau les yang dulu harus didatangi oleh para peserta didik, kini bisa dilakukan kapan pun, di mana pun secara fleksibel melalui aneka gadget.
Tidak berhenti pada bimbingan belajar saja, ruangguru terus berinovasi dengan menciptakan produk seperti ruangkerja dan Skill Academy yang memberikan ruang untuk pengembangan hard skill dan soft skill bagi semua kalangan, mulai dari siswa dan mahasiswa sampai dengan para pekerja kantoran.
Ada juga platform Coursera yang menyediakan berbagai akses pendidikan lengkap, mulai dari sertifikasi, pelatihan, dan bahkan online degrees. Coursera menjadi orchestrator bagi para pembelajar di seluruh dunia, dan juga lembaga pendidikan ternama seperti University of Illinois, Standford University, dan masih banyak lagi.
Ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah hak setiap individu; pendidikan tidak lagi berbatas ruang dan waktu. Pendidikan berbiaya mahal berbasis ruang kelas dan gedung (brick and mortar) bisa menjadi lebih murah dengan pembelajaran online.
Sementara data Kemeristekdikti menunjukkan bahwa jumlah PTS di Indonesia mengalami penurunan, mungkinkah disebabkan karena kesulitan keuangan dan tidak idealnya jumlah pendaftar. Dengan banyaknya jumlah PT di Indonesia dan adanya gejala penurunan jumlah PTS, ini bisa mengindikasikan banyak hal, bisa jadi peluang, tantangan, ataupun ancaman. Tergantung dilihat dari sudut pandang yang mana dan bagaimana pihak tersebut menyikapinya.
Jika berkaca pada Gojek dengan model bisnisnya, mereka melihat peluang dari banyaknya kendaraan yang idle atau tidak optimal,menjadi kendaraan yang produktif dan menghasilkan uang –dengan first principle thinking transportasi yang bertujuan memindahkan orang dari satu titik ke titik lain tanpa harus memiliki kendaraan. Dengan banyaknya jumlah perguruan tinggi di Indonesia, akankah ini bisa menjadi peluang bagi bisnis seperti ruangguru misalnya? Karena Gojek pun melihat peluang dari banyaknya kendaraan bermotor di Indonesia.
Akankah ada platform yang mendisrupsi dunia pendidikan tinggi di Indonesia dengan menjadi “wadah” online bagi para perguruan tinggi? Karena Coursera pun bisa melakukan itu, bukan? Mungkinkah terbanyangkan di benak kita PT-PT ternama seperti ITB, UI, UGM, dan lainnya akan masuk ke smartphone tanpa harus memiliki banyak gedung dan ruang? Di mana perguruan tinggi tersebut bisa memberikan layanan pendidikan yang luas serta berbiaya rendah.
Di Amerika Serikat, universitas-universitas mengalami penurunan penerimaan mahasiswa dari tahun 2019 sampai 2021 sebesar 8%, dan bahkan beberapa kampus mengalami kesulitan keuangan (CNBC, 2021). Kampus-kampus di Australia juga kehilangan pendapatan karena tidak adanya mahasiswa asing; beberapa pakar menyatakan ini dikarenakan dampak Covid yang menyebar ke semua industri.
Sementara di lain pihak seorang pakar disrupsi dari Harvard University Amerika bernama Prof. Clayton Cristensen pada 2014 dalam sebuah konferensi menyatakan bahwa 10 sampai 15 tahun ke depan 50% dari 4.000 universitas di Amerika akan mengalami kebangkrutan. Sebaliknya, pembelajaran online akan menjadi alternatif di masa depan karena lebih cost-efficient, dan diprediksi bahwa model bisnis kampus konvensional yang berbiaya tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan tidak akan mampu ditutup lagi dari pendapatan penerimaan mahasiswa.
Renungan Bersama
First principle thinking pendidikan yang nyatanya adalah proses pemberian pemahaman, pengetahuan, keterampilan dan karakter ternyata bisa juga dilakukan secara daring. Walaupun sebagian pihak mungkin tidak sepakat proses pendidikan bisa dilakukan secara daring, tapi faktanya saat ini konsumen di industri lain pun lebih memilih ojek online dibandingkan ojek pangkalan, karena perilaku masyarakat yang semakin digital.
Variabel-variabel seperti melimpahnya jumlah perguruan tinggi dan pengajar, biaya kuliah yang terus naik dari tahun ke tahun, munculnya perusahaan-perusahaan start-up pendidikan, prediksi pakar, dan mungkin yang terbaru adalah dunia virtual metaverse yang saat ini tengah dikembangkan banyak pihak akan mengakselerasi disrupsi dunia pendidikan tinggi di Indonesia bahkan global. Semuanya masih bersifat prediksi dan tentunya perlu dilakukan penelitian untuk memvalidasi keabsahan variabel-variabel yang disebutkan sebelumnya.
Menarik untuk ditunggu, akankah start-up companies yang sudah ada akan masuk ke ranah pendidikan tinggi Indonesia, atau akan ada platform baru yang menjadi “wadah” bagi para universitas, ataukah kampus-kampus itu sendiri yang justru terus “bersolek” dan lebih mendigitalisasikan diri ? Atau mungkin metaverse datang lebih cepat untuk memberikan layanan pendidikan secara virtual?
Budi Septiawan Dosen dan peneliti Ekonomi & Akuntansi Digital Universitas Pasundan (Unpas) Bandung (Detik, 11.02.2022)