Nagari Yogyakarta di awal abad ke-19 adalah kota yang sangat indah. Bahkan kewibawaannya sampai sekarang masih terasakan, baik dari keraton maupun rakyat Jogjanya.
Willem van Hoogendorp (1795-1838) yang merupakan tangan kanan Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies (1826-1830) bertandang ke Surakarta dan Yogyakarta ketika setelah tiga tahun berperang dan efeknya menghancurkan bangunan-bangunan terbagus di kota tersebut.
Solo (Surakarta) selalu memberi saya kesan yang sangat luar biasa, tapi Djocja (Yogyakarta) juga luar biasa, dan dalam masa kejayaannya pastilah merupakan Versailles Jawa. “Tidak sampai 1/10-nya yang tertinggal utuh, tapi tetap terlihat jaya pada reruntuhan tembok yang besar-besar”, demikian yang dia catat.
Menurut Residen Belanda (1848-1851) Baron A.H.W de Kock, Yogyakarta mencapai puncak kemakmurannya sekitar 1820. Dalam catatannya ditulis,
Masa itu Djocja makmur, kaya dan indah. Negeri subur, cantik, asri, penuh gedung-gedung bagus, taman-taman yang rapi dan tempat tetirah yang bagus-bagus. Makanan dan air berlimpah dan perdagangan berkembang.
Bangunan-bangunan di Yogya bahan temboknya berasal dari pertambangan batu kapur di Gamping. Rumah-rumah lain sekalipun terbuat dari kayu dan bambu di cat putih dan asri.
Jan Izaak van Sevenhoven (1782-1841), seorang pejabat tinggi Kerajaan Belanda mengatakan bahwa banyak pohon beringin tinggi-tinggi dan rindang di sepanjang jalan utama menuju keraton. Dan selepas jalan utama terdapat barisan rumah dan toko Cina (Tionghoa).
Di sebelah baratnya terdapat rumah-rumah besar tempat tinggal pejabat pemerintah Belanda yang berhalaman luas dan mempunyai kolam. Di seberangnya berdiri Benteng Vredeburg. Sedangkan kawasan pemukiman di belakang benteng adalah pemukiman penduduk.
Kekuatan Militer
Sri Sultan Hamengku Buwana II atau Sultan Sepuh pada tahun 1808 mempunyai 16 resimen prajurit keraton berjumlah 1.765 orang dan 976 diantaranya menyandang bedil dan tombak. Mereka mendapat gaji berupa tanah dan diberi tempat tinggal sangat dekat dengan keraton.
Sebagian diantara mereka adalah prajurit bayaran dari Bali dan Bugis. Selain itu masih ada pasukan perempuan (prajurit keparak estri) berjumlah 300 orang, yang merupakan anak perempuan pejabat tinggi atau keluarga kelas atas di pedesaan. Mereka mahir menunggang kuda dan menggunakan tombak.
Selain pasukan-pasukan itu, Sultan masih punya pasukan pejabat (prajurit arahan). Sebanyak 7.246 orang di dapat dari para pangeran, khususnya putra mahkota (Pangeran Adipati Anom). Belum lagi 2.126 prajurit yang disediakan oleh para bupati.
Jadi, andaikan dalam keadaan darurat perang, Sultan HB-II bisa segera mengerahkan sekitar 10.000 prajurit dalam tempo singkat. Biaya pemeliharaan pasukan itu diambil dari pungutan dan kerja bakti penduduk desa.
Awal Bencana Keraton Yogya
Maklumat Gubernur Jenderal Daendels pada 28 Juli 1808 yang menghapus jabatan residen di keraton dan menggantikannya dengan duta yang posisinya sejajar dengan raja, menjadi salah satu faktor penyebab kekacauan. Daendels bermaksud memusatkan kekuasaan di Batavia.
Ia mengangkat pejabat dan memberi pangkat untuk menciptakan loyalitas pemimpin lokal. Jadi para Raja dan Sultan langsung tunduk di bawah kedudukannya.
Saat Inggris mengalahkan Belanda, Inggris memperalat Daendels selama 1811-1816. Maka terjadilah penjarahan besar-besaran. Kekayaan yang dikumpulkan Sultan Hamengku Buwana II selama 16 tahun pertama memerintah, dibawa ke Eropa.
Ditaksir nilainya mencapai 1 juta dollar Spanyol, mata uang emas dan perak, serta intan berlian yang benilai sangat tinggi. Dan selain benda-benda dan perhiasan, sangat banyak naskah-nnaskah keraton yang dijarah diangkut ke Inggris.
Sebagai informasi, dari naskah-naskah tersebut Sir Thomas Stamford Raffles menyusun buku Babad Tanah Jawa (pada tahun 1815 Raffles kembali ke Inggris setelah Jawa dikembalikan ke Belanda usai Perang Napoleon)
Situasi ini menyebabkan kehidupan masayarakat poranda. Hidup menjadi sulit dan banyak terjadi tindak kejahatan. Di daerah, banyak yang tidak tidak setuju dengan kebijakan Sultan, dan lebih banyak lagi yang tidak menyukai Belanda.
Maka akhirnya banyak terjadi pemberontakan. Pemberontakan paling besar dilakukan oleh Raden Rangga (Bupati Wedana) yang juga salah satu menantu Sultan. Karena pemberontakan ini sangat mempersulit Daendels, maka ia menekan Keraton agar ikut serta menumpasnya.
Hubungan antara Gubernur Jenderal dan Keraton berada dalam titik nadir, dan tidak pernah membaik juga sampai rezim beralih ke tangan Inggris. Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles beberapa kali mendatangi Keraton dengan maksud agar Keraton tunduk kepada pemerintah kolonial. Sampai akhirnya Keraton benar-benar diserbu dan jatuh ke tangan Inggris pada 20 Juni 1812, setelah pertempuran 3 hari.
(bersambung)
Sumber tulisan :
Peter Carey, “Kuasa Ramalan: Pangeran Dipanegara dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855