Bayangkan sebuah negara yang bergantung pada penerimaan pajak untuk membiayai pembangunan, pendidikan, dan kesehatan rakyatnya namun di saat yang sama menghadapi tantangan besar: meningkatnya aktivitas ekonomi digital yang sulit terdeteksi dan ditarik pajaknya. Inilah kenyataan yang kini dihadapi Indonesia.
Di tengah geliat ekonomi digital yang kian masif, penerimaan negara menghadapi tekanan dari berbagai sisi: penghindaran pajak digital, lemahnya literasi perpajakan, hingga ketimpangan regulasi dengan realitas teknologi [1]. Kasus global seperti gugatan pajak terhadap perusahaan teknologi multinasional di berbagai negara termasuk Indonesia telah menyita perhatian publik. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun tengah berpacu dengan waktu untuk mentransformasikan sistem perpajakan demi menjaga keberlanjutan penerimaan negara di masa depan.
Sebagai gambaran, realisasi penerimaan negara Indonesia tahun 2024 mencapai Rp2.774,3 triliun. Sebagai perbandingan, pada tahun 2023 penerimaan negara tercatat sebesar Rp2.637,2 triliun, menunjukkan peningkatan signifikan yang menandai keberhasilan kebijakan fiskal dan peningkatan kepatuhan pajak. Dari jumlah tersebut, Rp1.871 triliun berasal dari pajak dalam negeri (74,5%), Rp52,5 triliun dari pajak perdagangan internasional (2,1%), Rp579,4 triliun dari PNBP (23,1%), dan Rp1,1 triliun dari hibah (0,04%). Untuk tahun 2025, pemerintah menargetkan penerimaan negara sebesar Rp2.802,3 triliun, yang mencerminkan tekad kuat dalam memperkuat kemandirian fiskal di tengah transformasi digital.
Transformasi Digital: Peluang dan Tantangan bagi Penerimaan Pajak
Era digital menyuguhkan dua sisi mata uang bagi sistem perpajakan. Di satu sisi, teknologi memungkinkan efisiensi administrasi dan peningkatan kepatuhan wajib pajak. Di sisi lain, digitalisasi menciptakan tantangan baru: platform luar negeri yang tak berbadan hukum di Indonesia dapat mengeruk keuntungan tanpa kewajiban pajak [2].
Peluang dapat dilihat dari implementasi sistem e-faktur, e-bupot, dan pelaporan SPT secara daring yang terbukti meningkatkan transparansi dan kepatuhan [3]. Namun tantangan muncul saat otoritas pajak harus mengawasi transaksi digital lintas batas dan model bisnis baru seperti platform sharing economy atau jasa digital tanpa kantor fisik. Jika tidak diantisipasi, potensi penerimaan negara akan bocor.
Langkah Strategis Pemerintah dan Tantangan Regulasi
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah progresif melalui penerapan pajak digital, seperti pajak atas transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), termasuk Meta, Apple, Amazon, Netflix, Spotify, Twitter, Google, dan sejenisnya. Regulasi ini merupakan respons terhadap perkembangan OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan [4].
Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan pajak digital menghadapi hambatan: ketidaksesuaian yurisdiksi, resistensi dari pelaku usaha global, dan keterbatasan kapasitas teknologi dalam negeri. Dalam hal ini, peran DPR menjadi krusial dalam menciptakan payung hukum yang adaptif dan berkeadilan [5]. Sinkronisasi lintas kementerian dan harmonisasi dengan regulasi internasional menjadi keniscayaan.
Optimalisasi Big Data dan AI dalam Sistem Perpajakan
Pemanfaatan big data, kecerdasan buatan (AI), dan analitik prediktif menjadi keniscayaan dalam mengawasi dan mengevaluasi potensi pajak. DJP telah memulai penggunaan sistem core tax administration system (CTAS) yang berbasis data terintegrasi [6].
Data dari marketplace, transaksi digital, dan data kepemilikan aset dapat diolah untuk mendeteksi ketidakpatuhan pajak dan memperluas basis pajak. AI dapat digunakan untuk profiling wajib pajak dan mendeteksi pola-pola mencurigakan secara otomatis. Namun, perlu perhatian pada aspek privasi, akurasi data, serta kesiapan sumber daya manusia [7].
Meningkatkan Literasi Pajak di Kalangan Masyarakat Digital
Generasi milenial, Gen Z dan Alpha yang merupakan pelaku utama ekonomi digital sering kali kurang memahami kewajiban perpajakan. Oleh karena itu, pendekatan edukatif harus dilakukan dengan gaya dan platform yang relevan: media sosial, webinar interaktif, hingga gamifikasi edukasi pajak [8].
DJP perlu membangun citra sebagai mitra edukatif, bukan sekadar otoritas pemungut. Kolaborasi dengan influencer, komunitas digital, dan platform edukasi daring dapat meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak secara sukarela.
Kolaborasi Global dan Diplomasi Perpajakan Digital
Dunia sedang bergerak menuju konsensus global mengenai pajak digital, terutama melalui inisiatif OECD “Two Pillar Solution”. Indonesia sebagai anggota G20 memiliki peran strategis dalam mendorong kerangka global yang adil [9].
Kolaborasi ini penting untuk menghindari terjadinya pajak berganda (double taxation) atau sebaliknya, penghindaran pajak (double non-taxation). Diplomasi fiskal menjadi instrumen penting, dan DPR perlu memperkuat posisi Indonesia melalui kerangka legislasi internasional yang berpihak pada kepentingan nasional. Berikut ini adalah rekomendasi Kebijakan ke Depan agar lebih baik, yakni:
- Modernisasi Sistem Pajak Berbasis Digital. Percepatan implementasi CTAS berbasis cloud dan integrasi dengan data dari kementerian/lembaga lain.
- Peningkatan Kapasitas SDM Pajak. Pelatihan intensif di bidang teknologi informasi, forensik digital, dan analitik data.
- Penyempurnaan Regulasi Pajak Digital. DPR perlu menetapkan undang-undang pajak digital yang spesifik dan mengikuti perkembangan ekonomi digital global.
- Perluasan Basis Pajak. Menjangkau pelaku ekonomi digital informal, pekerja lepas daring, dan UMKM digital melalui kemudahan administrasi dan tarif yang adil.
- Kampanye Nasional Literasi Pajak Digital. Meningkatkan kesadaran masyarakat sejak dini melalui kurikulum pendidikan dan media digital.
Kesimpulan – Masa depan penerimaan negara Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuan kita beradaptasi dalam era digital. Pemerintah melalui DJP, didukung DPR, dan partisipasi aktif masyarakat sebagai pelaku industri maupun pengguna manfaat pajak harus bersinergi membangun sistem perpajakan yang cerdas, adil, dan inklusif.
Dengan penerimaan negara yang mencapai Rp2.774,3 triliun pada tahun 2024 (naik dari Rp2.637,2 triliun pada tahun 2023) dan target Rp2.802,3 triliun pada tahun 2025, menjaga dan meningkatkan potensi ini bukan hanya soal angka—tetapi menyangkut kedaulatan fiskal dan keadilan sosial. Tantangan digital bukanlah ancaman jika dijawab dengan kebijakan progresif dan teknologi yang adaptif. Di tangan kita bersama, masa depan penerimaan negara bukan hanya aman, tetapi juga berdaulat.
Referensi
[1] A. Darussalam and D. Septriadi, “Taxing Digital Economy: Urgency and Challenges in Indonesia,” DDTC Working Paper, 2020.
[2] OECD, “Tax Challenges Arising from Digitalisation – Report on Pillar One Blueprint,” OECD Publishing, 2020.
[3] Direktorat Jenderal Pajak, “Laporan Kinerja DJP 2022,” Jakarta: Kemenkeu, 2023.
[4] OECD/G20, “Inclusive Framework on BEPS: Progress Report July 2021,” OECD, Paris, 2021.
[5] M. Setyawan, “Legislasi Pajak Digital di Indonesia: Tantangan dan Prospek,” Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 18, no. 2, pp. 133-145, 2021.
[6] Kementerian Keuangan RI, “Rencana Strategis DJP 2020-2024,” Jakarta, 2020.
[7] A. Subagyo, “Artificial Intelligence dalam Administrasi Pajak,” Jurnal Pajak Digital, vol. 3, no. 1, 2022.
[8] S. Wijayanti, “Literasi Pajak untuk Generasi Milenial,” Jurnal Ekonomi Digital, vol. 5, no. 3, 2022.
[9] OECD, “Statement on a Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy,” July 2021.
[10] M. Harahap and F. Ramadhan, “Peran DPR dalam Harmonisasi Peraturan Pajak Digital,” Jurnal Konstitusi dan Kebijakan Publik, vol. 9, no. 1, 2023.