Sejarah Kota Solo bisa dibagi menjadi beberapa periode. Jika dirunut hingga zaman kuno, maka sejarah Kota Solo dimulai dari era manusia purba Homo erectus yang fosilnya ditemukan di Sangiran, Kabupaten Sragen. Namun pada umumnya sejarah Kota Solo diceritakan berawal dari sebuah desa terpencil nan tenang hingga tahun 1744 silam. Kisah Solo dimulai ketika ditunjuk sebagai pengganti ibukota katasura, sehingga keraton yang sudah hancur tak perlu dibangun lagi dikarenakan dipindah ke daerah baru.
Dalam buku Babad Sala (1984) yang ditulis RM Sajid disebutkan bahwa Pakubwono II berangkat dari Kartasura naik kereta Kyai Garudha. Turut mengiringi pula sejumlah pejabat, termasuk perwakilan Belanda, Baron van Hohendorff.
Sejumlah pusaka yang masih tersisa pun dibawa. Bahkan, pohon beringin juga turut dibawa untuk ditanam di Alun-alun. Selama perjalanan ke timur sejauh 10 km itu, sejumlah abdidalem menabuh gamelan.
Tiba di lokasi, Pakubuwono II pun menyatakan bahwa Desa Sala diubah menjadi nagari Surakarta Hadiningrat.
Dalam aturan baca tulis dengan Huruf Jawa, tulisan Sala itu dibaca Solo (seperti saat kita mengucapkan kata ‘lontong’). Hingga saat ini masih banyak yang menuliskan Kota Solo dengan aturan penulisan Aksara Jawa, yaitu Kota Sala.
Kwan Jia (kereta lelayu) dari perkumpulan Hiang Gie di sebuah prosesi pemakaman Tionghoa, Surakarta, sekitar tahun 1910-1940. Drukkerij Siang Hak In Kwan/KITLV (Posisi : Depan Hotel TRIO, pasar gede)
Hanya saja, cara baca Kota Solo itu ternyata sulit diucapkan oleh kolonial Belanda pada saat itu. Mereka membaca Solo seperti saat kita mengucapkan ‘toko’. Penyebutan ala orang Belanda itu kini justru menjadi lebih populer.
Bioskop UP (Ura Patria) theatre th 1950 an dengan film the frogmen
Rumah Sakit “Sikensoro” yang berasal dari kata Ziekenzorg dibawah Vereeninging voor Zieken verpleging in Nederlandsche-Indië (VZNI) tahun 1907. Namanya berubah menjadi Bale Kusolo dibawah pimpinan direktur R. Soemarno th 1947 dan menjadi RSUD Moewardi pada 1 Januari 1950 hingga hari ini, dan berlokasi di Jebres, Surakarta.
Penampakan Bengkel Quick (PT. Quick Motors) tahun 1973. Sekarang adalah pertigaan CIMB Niaga/Lippo Slmaet Riyadi (depan Griya Batari)
Toko M.Roemain di Keprabon Solo. Agen Rokok Bal Tiga produksi oleh pabrik M. Nitisemito Kudus (1922-1940).
BOYOLALI (BOJOLALI)
Ketika Solo dilanda banjir di tahun 1905, foto-fotonya menjadi motif dari kartu pos untuk dikirim ke warga Belanda lainnya.
Tampak cetakan stempel pos masih terlihat, di bagian kiri atas malah masih terbaca kantor pengirimnya: (SUR)AKARTA (terbalik).Keterangan di kartu pos menunjukkan wilayah yang terkena banjir: belakang benteng, area Purbayan, kawasan Capkauking, perempatan Warung Pelem, dan Kampung Balong.
Sasana Suka, Societeit Mangkoenegaran (kini menjadi Monumen Pers Nasional) sekitar tahun 1950-an.
Vonstenlanden Surakarta juga memiliki Cota Blunda atau Kota Belanda, kompleks hunian bagi warga Belanda atau Eropa yang bertempat tinggal di kota raja. Jejak kota mini itu masih dapat ditemui hingga saat ini, meski sebagian hilang terdesak pembangunan pada era lebih modern. Cota Blunda tersebut salah satunya adalah kampung lawas bernama Loji Wetan. Terletak di Kelurahan Kedung Lumbu, Kecamatan Pasar Kliwon, tidak jauh dari lokasi Pasar Gedhe Hardjonagoro tepatnya di sebelah timur Benteng Vastenburg.
Semoga foto-foto lawas ini bermanfaat menjadi penyemangat. Aamin