Yo Kawanlah….. Pemanfaatan kecerdasan artifisial di kalangan anak muda kian luas dan menuai pro dan kontra. Namun, kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual manusia tidak terkalahkan oleh mesin dan komputer.
Anak muda di perkotaan Indonesia semakin akrab dengan kecerdasan artifisial (AI). Tak hanya membantu mengerjakan tugas sekolah atau kuliah, teknologi ini juga digunakan untuk membantu pekerjaan kantor, mencari informasi, hingga menyusun menu makan sehari-hari.
Bahkan, dari penelusuran Youthlab Indonesia, lembaga riset anak muda, ada siswa yang memakai AI untuk mencari jawaban saat ujian. Eiredith Aleea, siswa kelas XII SMA Negeri 47 Jakarta, biasa menggunakan ChatGPT dan Gemini untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Meski hasilnya dianggap akurat, ia tidak menggunakan hasil AI itu sepenuhnya. ”AI digunakan untuk mencari referensi. Selain itu, juga menggunakan Google untuk melihat informasi lainnya,” ujarnya dalam acara Youth Distopia, di Jakarta, Kamis (28/3/2024).
Meski masih ada kekurangan, AI membuat hidup anak muda kian mudah. Siswa sekolah menengah atas di Jakarta banyak memanfaatkan AI untuk mengerjakan aneka tugas sekolah, mencari jawaban pertanyaan matematika dan fisika, atau membuat materi presentasi.
Meski hasilnya dianggap akurat, ia tidak menggunakan hasil AI itu sepenuhnya. ”AI digunakan untuk mencari referensi. Selain itu, juga menggunakan Google untuk melihat informasi lainnya,” ujarnya dalam acara Youth Distopia, di Jakarta, Kamis (28/3/2024).
Penggunaan AI, menurut Aryasatya Kusuma, mahasiswa semester VI Fakultas Psikologi Universitas Paramadina, Jakarta, juga membuat pengerjaan tugas kuliah lebih efektif.
Saat pikiran buntu dan tenggat pengumpulan tugas kian mepet, ChatGPT banyak dijadikan solusi agar tugas kuliah bisa dituntaskan. Meski demikian, Aryasatya dan banyak anak muda lainnya juga khawatir dengan penggunaan AI. Mereka sadar penggunaan berbagai jenis AI yang sangat membantu itu memiliki sisi gelap yang membuat kemampuan dan potensi mereka tidak terasah sepenuhnya. Tak hanya anak sekolah atau kuliah, AI juga makin banyak digunakan di dunia kerja. Namun, hasil AI sering tak sesuai harapan. Menurut Mima, staf pemasaran di salah satu perusahaan, kantornya pernah mendorong penggunaan ChatGPT untuk membuat Program kampanye produk tertentu.
Ai itu hanya co-pilot, Kitalah yang menjadi pilotnya. Itulah mengapa skill Prompting itu sangat penting saat ini.
Prompting adalah teknik memberi perintah untuk mendapatkan hasil terbaik sesuai yang diinginkan
AI memang membantu memberikan solusi. Namun, bagaimana mengimplementasikan solusi itu tidak bisa dijawab oleh AI. Solusi yang dihasilkan AI menjadi terlalu mahal atau terlalu luas untuk pasar Indonesia. ” Akhirnya kami tetap melakukan brainstorming (curah pendapat) antarindividu dan sejak itu berhenti menggunakan AI,” ujarnya. Penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari sudah amat meluas, tidak hanya untuk mengerjakan tugas kuliah atau kantor. Tanpa disadari, penggunaan asisten virtual seperti Siri pada telepon seluler iPhone atau OK Google pada ponsel Google, filter Instagram atau Tiktok, hingga global positioning system (GPS) Navigation adalah beberapa bentuk pemanfaatan AI.
Pemakaian papan ketik virtual, rekomendasi konten sejumlah aplikasi film, musik, dan siaran langsung, hingga pencarian di internet adalah bentuk pengaplikasian AI. Meski demikian, pemanfaatan AI yang dilakukan saat ini masih sebatas AI sempit (artificial narrow intelligence/ANI), yaitu kecerdasan buatan yang memiliki satu tugas atau fungsi tertentu.
Sementara AI umum (artificial general intelligence/AGI), yaitu AI yang memiliki kecerdasan dan bisa memahami sekitarnya serta mengerjakan banyak tugas layaknya manusia, masih dalam pengerjaan para ahli dan perekayasa. Meski AI yang digunakan saat ini masih memiliki tugas terbatas, keberadaannya mulai mengkhawatirkan banyak kalangan. Penggunaan komputer dan mesin yang mampu meniru pikiran manusia dalam memecahkan masalah atau membuat keputusan membantu pelajar dan profesional mengerjakan tugasnya.
AI juga meningkatkan kenyamanan dan derajat kesehatan masyarakat. AI mampu menawarkan aksesibilitas pada kelompok disabilitas hingga mereka lebih mandiri. Pemanfaatan AI juga meningkatkan keselamatan kerja karena AI bisa bekerja 24 jam dan tak stres. Meski begitu, di balik semua manfaat itu, AI memiliki risiko yang mencengangkan. AI bisa meningkatkan pengangguran karena pekerjaan manusia akan digantikan robot.
AI juga dapat dipolitisasi untuk menyebarkan misinformasi, meningkatkan kemalasan, membuat orang sulit berpikir mendalam (deep thinking), memperburuk rasisme, hingga mengacak-acak privasi. ”Hal yang mengkhawatirkan adalah AI bisa digunakan untuk menyebarkan misinformasi,” kata Direktur Utama (CEO) Kata.ai Irzan Aditya. Tidak ada jaminan informasi yang dihasilkan AI itu benar.
Kemanusiaan manusia
Bahkan, dalam beberapa kasus, AI tidak hanya menghasilkan informasi yang keliru, tetapi juga menghasilkan informasi dalam bentuk teks dan video atas suatu peristiwa yang tidak pernah ada. Karena itu, penting untuk membangun kemampuan warga mengelola informasi yang dihasilkan AI. Cek saksama dan berulang perlu dilakukan karena AI bisa untuk kebaikan dan kejahatan. Literasi teknologi membantu menjaga warga dari paparan hoaks, adu domba, dan politisasi kelompok tertentu. Direktur Pemasaran (CMO) WIR Group Gupta Sitorus menilai, penggunaan AI masih dalam tahap awal adaptasi.
Teknologi akan terus berubah dan berkembang, tetapi dari evolusi manusia sampai kini fleksibilitas manusia membuat mereka mampu mempertahankan eksistensinya. “Manusia tak akan pernah tergantikan oleh teknologi,” ujarnya.
Hadirnya AI sejatinya justru merupakan alarm untuk memperkuat kemanusiaan manusia. Kecerdasan intelektual, emosional, hingga spiritual manusia perlu lebih diasah agar tidak terkalahkan oleh mesin dan komputer. Kreativitas serta pengetahuan dan kebajikan lo kal akan sangat sulit ditiru oleh AI. (M Zaid Wahyudi/Kompas)