Peneliti BRIN mengembangkan sedotan minuman ramah lingkungan dari pati sagu untuk mengatasi masalah sampah plastik di Indonesia. Sahabatku, Indonesia merupakan negara penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China. Hal itu ditunjukkan dari data Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP). Sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik dapat mencemari lingkungan dan mengancamkehidupan makhluk hidup. Tercatat setiap tahun ada 3,2 juta ton sampah plastik yang tidak terkelola di Indonesia. Kondisi yang lebih parah ditunjukkan dari banyaknya sampah yang berakhir begitu saja di laut yang mencapai 1,29 juta ton (Kompas.id, 7/8/2023).
Salah satu jenis sampah plastik yang paling banyak ditemukan ialah sampah sedotan plastik. Dari data Divers Clean Action, pemakaian sedotan di Indonesia mencapai 93.244.847 batang setiap hari. Dengan jumlah itu, jika semua sedotan tersebut dibentangkan, panjangnya bisa mencapai 16.784 kilometer.
Sampah plastik, termasuk sampah sedotan plastik, dapat mengancam kehidupan makhluk hidup. Plastik mudah termakan oleh hewan di laut. Tidak jarang pula ditemukan hewan seperti burung atau penyuyang mati karena terjerat sampah plastik. Pernah pula ditemukan penyu yang hidungnya tersumbat sampah sedotan plastik. Selain itu, sampah plastik bisa mengancam manusia. Ukuran plastik yang amat kecil atau mikroplastik ditemukan pada ikan yang dikonsumsi manusia.
Riset Elisabeth S Gruber dari Medical University of Vienna, Austria, yang terbit di jurnal Exposure and Health pada Maret 2022 menunjukkan, nanoplastik dan mikroplastik memiliki kemampuan mengubah komposisi mikrobioma usus. Terganggunya mikrobioma saluran pencernaan oleh paparan plastik, terkait dengan penyakit metabolik, seperti obesitas, diabetes, dan penyakit hati kronis. Paparan mikroplastik dan nanoplastik yang tinggi juga bisa memicu inflamasi dan mengganggu imun (Kompas,13/4/2022).
Besarnya dampak buruk penggunaan plastik mendorong banyak peneliti mengembangkan dan menghasilkan produk inovasi yang dapat menggantikan produk berbahan plastik dengan bahan yang lebih ramah lingkungan. Pengembangan pun dilakukan dengan tetap memperhatikan keberlanjutan bahan yang digunakan.
Sedotan sagu
Penelitian terbaru dilakukan peneliti dari Pusat Riset Agroindustri Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Para peneliti mengembangkan sedotan minuman berbahan pati sagu. Selain ramah lingkungan, sedotan dari pati sagu ini juga bisa dikonsumsi. Harianto, perekayasa dari Pusat Riset Agroindustri BRIN yang juga peneliti yang mengembangkan sedotan dari pati sagu tersebut, menuturkan, sagu merupakan kekayaan sumber daya lokal di Indonesia yang tersedia melimpah. Sayangnya, bahan baku tersebut cenderung terlupakan sehingga belum dimanfaatkan secara maksimal.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, sekitar 50 persen potensi sagu di dunia terdapat di Indonesia. Luas tanaman sagu di Indonesia mencapai 5,5 juta hektar dengan potensi produksi pati sagu mencapai 41,25 juta ton per tahun. Atas dasar itu, akhirnya Harianto dan tim memanfaatkan sagu sebagai bahan baku pembuatan sedotan ramah lingkungan. Selain meningkatkan pemanfaatan sagu, riset ini sekaligus dapat membantu mengatasi persoalan sampah sedotan plastik di lingkungan.
Harianto, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (18/2/2024), mengatakan, awalnya sedotan ramah lingkungan yang akan dikembangkan memakai bahan baku tepung rumput laut atau karagenan. Akan tetapi, harga karagenan cukup mahal. Selain karagenan, sedotan ramah lingkungan sebenarnya bisa juga dikembangkan dengan bahan baku tepung beras. Namun, jika menggunakan bahan baku dari beras, hal itu akan bersaing dengan pemenuhan kebutuhan bahan pokok masyarakat. Harganya juga lebih mahal dibandingkan pati sagu.
”Demikian halnya dengan tepung ataupun pati singkong.Kebutuhan untuk konsumsi langsung ataupun untuk industri cukup tinggi. Bahkan, pada waktu-waktu tertentu Indonesia mengimpor singkong. Karena itu, sagu menjadi andalan bahan baku produksi sedotan ramah lingkungan,” tuturnya. Harianto menjelaskan, inovasi sedotan dari pati sagu memiliki sejumlah keunggulan, antara lain, bekas sedotan sagu mudah terurai di dalam tanah sehingga limbahnya tidak mencemari lingkungan. Sedotan ini juga memiliki daya tahan rendam sampai satu jam. Bahkan, pengembangan dilakukan untuk menghasilkan produk sedotan sagu dengan daya tahan rendam sampai empat jam. Sedotan ini aman dikonsumsi setelah terendam atau menjadi lunak. Produk sedotan yang belum digunakan memiliki daya tahan simpan yang cukup lama hingga satu tahun lebih. Sedotan ini pun cukup kuat dan tidak mudah rapuh.
Pengembangan
Secara sederhana, Harianto menjelaskan, pengembangan sedotan dari pati sagu diawali dengan proses modifikasi dari bahan baku pati sagu. Proses iniperlu dilakukan untuk mencegah warna gelap atau kusam dari pati sagu. Proses dilanjutkan dengan formulasi bahan tambahan untuk memperbaiki performa dari produk. Barulah proses memasak (cooking) dilakukan untuk pragelatinasi yang terkait pula dengan formulasi. Setelah itu, proses pencetakan dengan cara ekstrusi. Proses pencetakan didukung dengan mata cetakan (dice) agar hasil cetakan bisa lebih bagus. Pada proses akhir dilakukan pengemasan produk melalui teknologi khusus yang dapat menjaga mutu produk.
Produk sedotan dari pati sagu yang bisa dimakan atau yang disebut sago edible drinking straw ini telah dipatenkan dengan nomor paten yang terdaftar P00202314873. Saat ini, produk ini belum diproduksi secara massal. ”Kami sangat terbuka jika ada industri yang berminat untuk kerja sama komersialisasinya,” ujarnya.
Harianto mengatakan, tidak dimungkiri ditemukan beberapa tantangan dalam proses pengembangan. Tantangan itu, antara lain, untuk menghasilkan tampilan produk yang bening dan putih bersih. Tantangan lain juga ditemukan untuk keberlanjutan bahan baku. Keberlanjutanpermintaandankebutuhan industri akan bahan baku pati sagu yang belum terjadi membuat harga pati sagu terkadang menjadi mahal. Harianto mengatakan, pengembangan sedotan yang ramah lingkungan akan terus dilakukan. Penyempurnaan dengan berbagai alternatif teknologi proses akan dilakukan. Selain itu, pengembangan dengan memakai bahan baku lainnya akan dilakukan.
Ia pun berharap berbagai penelitian bisa terus dikembangkan untuk lebih memanfaatkan potensi sagu di Indonesia.” Paling utama (dukungan) yang dibutuhkan adalah penciptaan atau kreativitas pada aneka produk yang diminati konsumen. Jika sudah ada pasar, industri pun akan memproduksinya untuk memenuhi minat tersebut. Pati sagu dapat digunakan untuk bahan baku pangan atau bahan baku industri lainnya, seperti sedotan ramah lingkungan,” katanya.
Keunggulah Produk
1. Dapat dikonsumsi
2. Tidak menimbulkan sampah dan tidak mencemari lingkungan
3. Cukup kuat, tidak rapuh
4. Tahan rendam selama 4 jam
5. Masa simpan hingga 1 tahun
Secara terpisah, Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan OrganisasiRiset Pertanian dan Pangan BRIN Novarianto Hengky dalam Horties Talk #11 pada 23 Agustus 2023 menilai, panen batang sagu yang masih sulit dilakukan di Indonesia disebabkan infrastruktur yang terbatas. Padahal, ketersediaan lahan sau serta potensi sagu di Indonesia sangat besar.
Kekayaan keanekaragaman plasma nutfah sagu Indonesia bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan produk sagu di masyarakat. Pemanfaatan itu dilakukan dengan menyediakan sumber benih sagu bermutu, memperbanyak pelepasan varietas unggul, membangun kebun sumber benih unggul, dan mempercepat perakitan perbanyakan sagu secara massal melalui teknologi kultur jaringan. (Deonisia Arlinta/Kompas 19-feb–24)